Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung. Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002). Pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor penyebab penurunan populasi penyu.
Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Upaya Pelestarian Penyu
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan kekayaan flora dan fauna yang sangat tinggi. Ditinjau dari manfaatnya, kekayaan flora dan fauna di Indonesia memberikan sumbangan yang sangat penting bagi keseimbangan kehidupan di bumi ini. Yang harus selalu diingat bahwa setiap mahluk hidup didunia diciptakan dengan perannya masing-masing. Jadi punahnya satu jenis flora dan fauna sedikit banyak akan mengganggu keseimbangan alam.
Ironisnya, selain salah satu Negara dengan kekayaan hayati yang tinggi, Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang mempunyai laju kepunahan jenis yang tinggi. Saat ini kekayaan flora dan fauna Indonesia menghadapi tekanan yang sangat tinggi, sehingga banyak diantarannya berada dalam kondisi yang hampir punah. Tekanan yang ada diakibatkan tingginya laju perubahan tata guna lahan (habitat alami satwa dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian dan semakin maraknya penebangan hutan secara liar).
Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya perburuan liar yang terjadi di Indonesia saat ini. Ini diakibatkan tingginya permintaan pasar terhadap jenis satwa-satwa liar eksotis dan langka menyebabkan laju perburuan liar hampir-hampir tidak bisa dikendalikan lagi. Salah satu dari kekayaan fauna di Indonesia adalah spesies penyu. Enam dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia ditemukan di perairan Indonesia dan bertelur di beberapa pantai di negeri ini.
Oleh karena itu kita sebagai masyarakat dihimbau untuk dapat membantu pemerintah dalam usaha pelestarian satwa liar dengan mendukung upaya pelestarian penyu, serta mencoba mengembalikan peran satwa penyu didalam habitatnya. Dengan berlatar belakang hal tersebut maka kami membuat makalah ini, agar pembaca mengerti bagaimana kehidupan satwa di Indonesia.
Gerakannya yang unik dan khas seakan menggambarkan kelihayan perenang dasar laut yang mempesona. Ini mungkin bisa menggambarkan betapa unik dan indah melihat penyu laut berenang bebas dibawah permukaan laut. Dengan menggerakkan kedua kaki renang depan untuk mengontrol gerakan dan kecepatan, hewan ini bergerak gesit di dasar laut. Juga dengan bantuan kaki belakang sebagai penyeimbang seakan memberikan kesempurnaan gaya renang yang memukau.
Ada beberapa jenis (species) penyu laut yang hidup di perairan . Diantaranya penyu hijau atau dikenal dengan nama green turtle (Chelonia mydas), penyu sisik atau dikenal dengan nama Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata), penyu lekang atau dikenal dengan nama Olive ridley turtle (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing atau dikenal dengan nama Leatherback turtle (Dermochelys olivacea), penyu pipih atau dikenal dengan nama Flatback turtle (Natator depressus) dan penyu tempayan atau dikenal dengan nama Loggerhead turtle (Caretta caretta). Dari jenis ini Penyu Belimbing adalah penyu terbesar dengan ukuran mencapai 2 meter dengan berat 600 – 900 kg. Yang terkecil adalah penyu lekang dengan ukuran paling besar sekitar 50 kg.
Jenis-Jenis Penyu di Indonesia
1.Penyu Hijau (Chelonia mydas)
Jenis penyu hijau, atau yang biasanya dikenal dengan nama Chelonia mydas adalah penyu laut besar yang termasuk dalam keluarga Cheloniidae. Hewan ini adalah satu-satunya spesies dalam golongan Chelonia. Mereka hidup di semua laut tropis dan subtropis, terutama di Samudera Atlantik dan Samudera Pasifik. Namanya didapat dari lemak bewarna hijau yang terletak di bawah cangkang mereka.
Penyu hijau dapat diidentifikasi berdasarkan adanya sepasang sisik prafrontal yang merupakan sisik diantara kedua matanya. Ciri identifikasi ini mirip seperti penyu belimbing dan penyu tem payanyang mempunyai dua pasang prafrontal. Penyu hijau dapat dibedakan dari penyu pipih oleh tidak adanya sisik praokular dan karapaks yang seperti kubah. Penyu ini pada karapaksnya terdapat empat pasang sisik dan disekitar mata terdapat dua pasang sisik. Sisik pada jenis penyu ini tidak tumpang tindih. Panjang karapaks penyu ini yang pernah dijumpai adalah 75-115 cm dan beratnya mencapai 300 kg.
Penyu hijau memakan semua jenis tumbuh-tumbuhan yang hidup dilaut (mis; ganggang laut, lamun, lumut dan ikan). Musim kawin dari penyu ini berlangsung antara Januari dan Mei. Penyu betina dapat bertelur antara 100 sampai 125 butir dalam sekali bertelur. Waktu pengeraman terjadi sekitar 50 sampai 60 hari. Usia penyu ini dapat mencapai 200 tahun. Penyu hijau terdapat dimana-mana diperairan tropik dan subtropik. Di Indonesia, penyu ini terdapat diperairan pantai Jawa, Bali, Sumatera dan mungkin di semua perairan pantai yang landai di Indonesia. Di Bali, dagingnya di konsumsi (dimakan) dan karapaksnya dijadikan kerajinan tangan untuk para wisatawan.
Penyu hijau adalah salah satu jenis penyu laut yang umum dan jumlahnya lebih banyak di banding beberapa penyu lainnya. Jenis seperti penyu belimbing di laporkan telah sangat berkurang jumlahnya dan termasuk salah satu jenis yang hampir hilang di perairan , hanya beberapa tempat yang masih sesekali menjadi tempat memijah bagi jenis penyu ini. Penyu belimbing adalah penyu yang di lindungi dan masuk dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) Appendix.
Sebenarnya, penyu hijau dari dulu secara ekstensif telah diburu di indonesia, terutama untuk dagingnya, telurnya juga dapat dikumpulkan dalam skala besar. Oleh karena itu, populasi dari penyu hijau di Indonesia menurun dengan cepat. Tukik penyu hijau yang berada di sekitar teluk California hanya memakan alga merah. Penyu hijau akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali. Ketika penyu hijau masih muda mereka makan berbagai jenis biota laut seperti cacing laut, udang remis, rumput laut, juga alga. Ketika tubuhnya mencapai ukuran sekitar 20-30 cm, mereka berubah menjadi herbivora dan makanan utamanya adalah rumput laut.
Spesies ini berada di dalam genus monotipe, Natator, dalam familia Cheloniidae, namanya berarti "perenang" dalam bahasa Latin. Depressus, nama spesifik, berarti "pipih" dalam bahasa Latin. Hal ini mengacu pada kerataan tempurung penyu pipih itu. Suku Bardi menyebut hewan ini dengan sebutan barwanjan, dan sebutan itu dikenal oleh Wunambil sebagai madumal.
Penyebaran dan habitat
Penyu pipih biasanya ditemukan di teluk, perairan dangkal, perairan berumput, terumbu karang, muara, dan laguna di pantai utara Australia dan di lepas pantai Papua Nugini. Spesies ini mendapatkan makan dari Indonesia dan Papua Nugini, tetapi sarangnya hanya terdapat di Australia. Sarangnya terdapat di bagian utara Australia, dari Exmouth di Australia Barat hingga Taman Konservasi Mon Repos di Queensland. Tempat berkembang biak yang paling signifikan adalah Pulau Crab di barat Selat Torres. Perkembangbiakan juga terdapat pada pulau-pulau di bagian selatan Karang Penghalang Besar, dan di daratan pantai dan pulau-pulau lepas pantai utara dari Gladstone.
Anatomi
Karapas dewasa memiliki panjang rata-rata 90 cm (35 in). Bentuknya rendah berkubah, tepi yang terbalik, dan memiliki empat pasang sisik rusuk yang jumlahnya kurang dari sisik rusuk penyu lainnya. Bagian atas merupakan bagian perut berwarna zaitun abu-abu, dan lebih pucat. Sepasang sisik tunggal terletak di bagian depan kepala, yang juga membedakan spesies ini.
Sejarah hidup
Penyu pipih ini memiliki keunikan, yaitu meletakkan sedikit telur tetapi ukurannya lebih besar daripada telur spesies penyu lainnya. Mereka berbaring untuk mengeluarkan 55 telur dalam satu waktu, tiga kali selama musim kawin. Penyu jantan tidak pernah kembali ke pantai, karena perkawinan terjadi di laut, mengambil waktu sekitar 1,5 jam. Penyu betina menggali lubang menggunakan sirip depannya untuk membersihkan lapisan paling atas pasir kering. Kemudian menggunakan sirip belakangnya untuk menggali sebuah ruang kecil untuk telur. Setelah meletakkan semuanya antara 50 sampai 75 telur, penyu betina menutupnya terlebih dahulu dengan sirip belakangnya, dan kemudian ditutup pasir kembali dengan sirip depannya. Betina bertelur setiap 16-17 hari selama musim bersarang, sebanyak 1-4 sarang. Penyu pipih bersarang hanya setiap dua sampai tiga tahun sekali. Sekitar 54 telur diletakkan di setiap sarang, dan koloni penetasan biasanya kecil.
Telur ini rentan terhadap predasi oleh dingo, goanna pasir (Varanus gouldii) dan diperkenalkannya pengganggu spesies, yaitu rubah merah. Sebuah ekologi diubah pada lokasi sarang terkenal, seperti Port Hedland, telah mengganggu perkembangbiakan. Spesimen dewasa juga ditemukan di jaring pukat ikan, dan masih dikonsumsi oleh suku adat di seluruh jangkauan mereka.
Penetasan
Bayi penyu pipih merupakan yang terbesar dari penyu apapun. Penetasan merupakan waktu yang paling berbahaya bagi penyu pipih. Berpedoman pada rendah, cakrawala terbuka, bayi yang baru lahir bergegas ke laut. Hanya sedikit keamanan dalam melindungi mereka dari burung dan kepiting. Namun, laut juga tidak aman. Hiu dan ikan perairan dangkal, menunggu untuk memangsa. Para ilmuwan memperkirakan hanya satu dari 100 penyu hidup untuk menjadi dewasa. Namun, setelah penyu ini menjadi dewasa, sangat sedikit organisme yang memangsa mereka. Kurva ketahanan hidup mereka dikenal sebagai tipe III karena bayi penyu bertahan pada angka kematian yang tinggi, sementara penyu dewasa berkembang.
Bayi penyu pipih cukup besar dibandingkan dengan penyu laut lainnya sehingga sulit bagi predator untuk memakannya. Cahaya yang dipantulkan air dari langit menuntun mereka ke laut. Cangkang halus dan sirip seperti dayung membantu mereka mempercepat melalui air secepat 29 kilometer per jam.
3. Penyu Sisik
Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) adalah jenis penyu terancam punah yang tergolong dalam familia Cheloniidae. Penyu ini adalah satu-satunya spesies dalam genusnya. Spesies ini memiliki persebaran di seluruh dunia, dengan dua subspesies terdapat di Atlantik dan Pasifik. E. imbricata imbricata adalah subspesies di Atlantik, sedangkan E. imbricata bissa adalah subspesies di wilayah Indo-Pasifik.
Penampilan penyu sisik mirip dengan penyu lainnya. Penyu ini umumnya memiliki bentuk tubuh yang datar, dengan sebuah karapaks sebagai pelindung, dan sirip menyerupai lengan yang beradaptasi untuk berenang di samudra terbuka. Perbedaan E. imbricata dari penyu lainnya yang sangat mudah dibedakan adalah paruhnya yang melengkung dengan bibir atas yang menonjol, dan tampilan pinggiran cangkangnya yang seperti gergaji. Cangkang penyu sisik dapat berubah warna, sesuai dengan temperatur air. Walaupun penyu ini menghabiskan separuh hidupnya di samudra terbuka, sesekali mereka juga mendatangi laguna yang dangkal dan terumbu karang.
Praktik memancing yang dilakukan oleh manusia menyebabkan populasi E. imbricata terancam kepunahan. World Conservation Union mengklasifikasikan penyu sisik sebagai spesies kritis. Cangkang penyu sisik adalah sumber utama dari material cangkang kura-kura yang digunakan untuk bahan dekorasi atau hiasan. Convention on International Trade in Endangered Species melarang penangkapan dan penjualan penyu sisik maupun produk-produk yang berasal darinya.
Anatomi dan morfologi
E. imbricata memiliki tampilan menyerupai kura-kura laut. Seperti anggota keluarganya yang lain, penyu tersebut memiliki bentuk tubuh yang datar dan sirip seperti lengan yang beradaptasi untuk berenang. Rata-rata penyu sisik dewasa diketahui dapat tumbuh sampai sepanjang 1 m (3 ft) dan berat sekitar 80 kg (180 lb). Penyu sisik terbesar yang pernah ditangkap memiliki berat 127 kg (280 lb). Cangkang penyu, atau karapaks, memiliki susunan latar belakang kuning dengan kombinasi garis-garis terang dan gelap yang tak beraturan yang didominasi oleh warna hitam dan bintik-bintik berwarna cokelat yang memancar ke arah samping.
Terdapat beberapa karakteristik penyu sisik yang membedakannya dari spesies penyu lainnya. Salah satunya adalah bentuk kepala yang memanjang dan meruncing serta memiliki sebuah paruh yang menyerupai mulut (seperti itulah nama umum yang diberikan), dan paruhnya lebih tajam dan menonjol ketimbang yang lainnya. Lengan penyu sisik memiliki dua cakar yang terlihat pada setiap sirip.
Salah satu karakteristik penyu sisik yang sangat mudah terlihat adalah susunan skat yang menghiasi karapaksnya. Seperti halnya penyu lainnya, karapaks pada penyu sisik memiliki lima skat tengah dan empat pasang skat lateral, dengan bagian belakang skat yang saling tumpang tindih sedemikian rupa sehingga pinggiran belakang karapaksnya terlihat bergerigi, mirip dengan tepi gergaji atau pisau bistik. Karapaks penyu tersebut diketahui dapat mencapai panjang 1 m (3 kaki).
Pasir yang dilalui penyu sisik membentuk pola asimetris, karena mereka merangkak di atas tanah dengan cara berjalan alternatif. Berbeda dengan penyu hijau dan penyu belimbing yang merangkak secara simetris. Karena memakan cnidaria yang berbisa, daging penyu sisik mengandung racun.
Persebaran
Penyu sisik dapat ditemukan di beberapa tempat yang umumnya berada di daerah tropis Samudra Hindia, Pasifik, dan Atlantik. Dari seluruh spesies penyu, E. imbricata adalah satu-satunya spesies yang paling terikat dengan perairan tropis yang hangat. Dua subpopulasi utama yang diketahui adalah subpopulasi Atlantik dan Indo-Pasifik. Habitat
Penyu sisik dewasa biasanya ditemukan di terumbu karang tropis. Mereka biasanya terlihat sedang beristirahat di gua-gua dan sekitaran terumbu karang sepanjang hari. Sebagai spesies yang bermigrasi sangat jauh, mereka dapat mendiami berbagai habitat, dari samudra terbuka sampai laguna dan rawa hutan bakau di muara. Sedikit yang diketahui mengenai preferensi habitat kehidupan awal E. imbricata; seperti penyu muda lainnya, mereka digolongkan sebagai pelagik sempurna, yang tetap berada di laut sampai masa dewasa.
Penyu sisik adalah omnivora, dengan spons laut sebagai makanan utamanya. Di Karibia, 70–95% penyu sisik menjadikan spons sebagai makanannya. Namun, seperti kebanyakan spongivora, mereka hanya memakan spesies tertentu dan tidak memakan yang lainnya. Populasi di Karibia utamanya memakan mangsa yang berasal dari ordo Astroforida, Spiroforida, dan Hadromerida dalam kelas Demospongiae. Selain memakan spons, penyu sisik juga memakan alga, cnidaria, Ctenofora, dan ubur-ubur lainnya, serta anemon laut. Mereka juga memakan ubur-ubur berbahaya seperti ubur-ubur api (Physalia physalis) dari kelas hydrozoa. Penyu sisik menutup mata untuk melindungi mata mereka ketika memakan cnidaria. Sengatan dari ubur-ubur api tak mempan terhadap lapisan kepala penyu tersebut.
Penyu sisik memiliki ketangguhan dan ketahanan yang tinggi terhadap mangsa mereka. Beberapa spons yang mereka makan, seperti Aaptos aaptos, Chondrilla nucula, Tethya actinia, Spheciospongia vesparium, dan Suberites domuncula, sangat (seringkali mematikan) beracun bagi organisme lainnya. Selain itu, penyu sisik memilih untuk mengkonsumsi spesies spons yang mengandung silika spikula dalam jumlah signifikan, misalnya Ancorina, Geodia (G. gibberosa), Ecionemia, dan Placospongia.
Sejarah kehidupan
Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah kehidupan penyu sisik. Sejarah kehidupan mereka dapat dibagi menjadi tiga fase, yakni fase pelagik, dari mulai menetas (tukik) sampai berukuran sepanjang 20 cm; fase bentik, ketika penyu yang belum dewasa mulai mencari tempat makan; dan fase reproduksi, ketika penyu telah mencapai kematangan seksual. Fase pelagik kemungkinan berakhir pada usia 1 sampai 4 tahun. Penyu sisik akan menunjukan tingkat kesetiaan pada kelompoknya setelah mencapai fase bentik, meskipun perpindahan ke habitat lainnya yang serupa juga bisa terjadi.
Perkembangbiakan
Penyu sisik kawin sebanyak dua kali dalam setahun di laguna terpencil yang berada di lepas pantai tempat mereka bersarang di pulau-pulau yang terpantau oleh kelompoknya. Musim berkembang biak penyu sisik Atlantik belangsung pada bulan April sampai November. Populasi Samudra Hindia, seperti populasi penyu sisik Seychelles, berkembang biak dari bulan September sampai Februari. Setelah kawin, penyu sisik betina akan menyeret tubuhnya sampai ke pantai saat malam hari. Penyu betina membersihkan area di sekelilingnya dan membuat lubang yang digunakan untuk menyimpan telur dengan menggunakan sirip belakangnya, kemudian mengeluarkan telur-telur tersebut dari tubuhnya dan menutupinya dengan pasir. Sarang E. imbricata di Karibia dan Florida biasanya berisi sekitar 140 telur. Setelah proses yang panjang, betina tersebut kemudian kembali ke laut.
Bayi penyu, biasanya memiliki berat kurang dari 24 g (0,85 oz), akan merangkak keluar dari lubangnya pada malam hari sekitar dua bulan kemudian. Tukik yang baru menetas berwarna gelap, dengan karapaks berbentuk hati berukuran panjang sekitar 25 cm (9,8 in). Mereka secara naluriah merangkak menuju laut saat tertarik dengan pantulan cahaya bulan di atas air (bisa juga sumber pencahayaan lain seperti lampu jalan dan penerangan). Ketika bergerak di bawah naungan kegelapan, bayi penyu yang tidak mencapai air pada saat fajar bisa dimangsa oleh burung pantai, kepiting pantai, dan predator lainnya.
Kehidupan awal
Sejarah kehidupan penyu sisik saat masih muda tidak diketahui. Saat mencapai laut, tukik dianggap telah memasuki tahap hidup pelagik (seperti penyu laut lainnya) untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Meskipun tingkat pertumbuhan penyu sisik tidak diketahui, ketika penyu remaja mencapai ukuran 35 cm (14 in), mereka beralih dari gaya hidup pelagik menuju ke kehidupan di terumbu karang.
Masa dewasa
Penyu sisik memasuki masa dewasa setelah berusia 30 tahun. Mereka dipercaya dapat hidup selama 30 sampai 50 tahun di alam liar. Seperti penyu lainnya, sebagian besar hidup penyu sisik dihabiskan dengan menyendiri; mereka bertemu hanya untuk mendapatkan pasangan. Minat hewan tersebut terhadap migrasi sangat tinggi. Karena karapaks mereka keras, predator penyu sisik dewasa hanya hiu, buaya muara, gurita, dan beberapa spesies ikan pelagik.
Serangkaian tanda biotik dan abiotik, seperti genetik individu, baik secara kuantitas maupun kualitas atau kepadatan populasi, dapat memicu pematangan organ reproduksi dan produksi gamet, dan dengan demikian bisa menentukan kematangan seksual. Seperti kebanyakan reptil, seluruh penyu laut dari agregasi yang sama tidak bisa mencapai kematangan seksual pada ukuran dan usia yang sama. Masa kedewasaan terjadi antara usia 10 sampai 25 tahun untuk penyu sisik Karibia. Penyu yang bersarang di wilayah Indo-Pasifik mengalami masa dewasa minimal pada usia 30 sampai 35 tahun.
4. Penyu Belimbing
4. Penyu Belimbing
Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) adalah sejenis penyu raksasa dan satu-satunya jenis dari suku Dermochelyidae yang masih hidup. Penyu ini merupakan penyu terbesar di dunia dan merupakan reptil keempat terbesar di dunia setelah tiga jenis buaya. Penyu belimbing dikenal oleh beberapa masyarakat dengan sebutan penyu raksasa, kantong atau mabo. Nama umumya dalam bahasa inggris adalah Leatherback sea turtle.
Jenis ini bisa mudah diidentifikasi dari karapaksnya yang berbentuk seperti garis-garis pada buah belimbing. Karapaks ini tidak ditutupi oleh tulang, namun hanya ditutupi oleh kulit dan daging berminyak. Bentuk kepala dari penyu belimbing kecil, bulat dan tanpa adanya sisik-sisik seperti halnya penyu yang lain. Mempunyai paruh yang lemah, tetapi berbentuk tajam, tidak punya permukaan penghancur atau pelumat makanan.
Bentuk tubuh penyu jantan dewasa lebih pipih dibandingkan dengan penyu betina, plastron mempunyai cekungan ke dalam, pinggul menyempit dan corseletnya tidak sedalam pada penyu betina. Warna karapas penyu dewasa kehitam-hitaman atau coklat tua. Di bagian atas dengan bercak-bercak putih dan putih dengan bercak hitam di bagian bawah. Berat penyu ini dapat mencapai 700 kg dengan panjang dari ujung ekor sampai moncongnya bisa mencapai lebih dari 305 cm. Penyu ini bergerak sangat lambat di daratan kering, namun ketika berenang merupakan reptil tercepat di dunia dengan kecepatan mencapai 35 Km perjam.
Penyu belimbing menyebar sangat luas di dunia. Hewan ini dapat dijumpai di perairan tropis, subtropis, dan infratropis di Samudera Hindia, Samudera Pasifik, dan Samudera Atlantik. Populasi paling besar terdapat di seluruh perairan tropis Indo-Australia.
Makanan utama hewan ini adalah ubur-ubur. Penyu belimbing selalu bermigrasi dari pantai satu ke pantai yang lain untuk mencari sarang. Masa migrasi hewan ini antara 2 - 3 tahun dengan istirahat antara 9 - 10 hari. Jumlah sarang yang dibuat setiap musim mencapai 6 sarang. Telur yang dihasilkan antara 80 - 100 butir. Dalam perjalanan hidupnya, hanya sedikit anak penyu yang bisa bertahan sampai dewasa karena banyaknya bahaya di laut bagi bayi penyu yang baru menetas.
Penyu ini sekarang menjadi sangat langka. Di Indonesia, penyu ini merupakan hewan yang dilindungi atau tidak boleh diburu sejak tahun 1987 berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978.
Pelestarian dan Pembesaran Penyu
Penyu adalah satwa yang terancam punah yang sudah dilindungi oleh hukum Indonesia dan internasional yang seharusnya mendapatkan perlakuan khusus untuk membuatnya lestari. Namun ironisnya manusia seakan kecanduan untuk mengeksploitasi penyu dan berusaha mencari celah hukum untuk memanfaatkan penyu demi kepentingan pribadi. Di berbagai tempat jumlah penyu terus menerus berkurang seiring dengan maraknya eksploitasi penyu berkedok “konservasi” yang tidak ramah penyu.
Sebelum tahun 2000-an penyu dengan terang-terangan dieksploitasi dengan cara diperdagangkan dalam bentuk daging, telur dan karapasnya untuk bahan cinderamata. Setelah aparat penegak hukuim gencar ,melakukan oenertiban dan penyitaan penyu yang diperdagangkan secara ilegal, kini “perdagangan” penyu terjadi dengan modus baru yang lebih halus. Karena saking menariknya kemasan eksploitasi penyu tersebut, maka pemerintah, masyarakat awam, dan juga wisatawan sering terkecoh mengira bahwa eksploitasi tersebut adalah bentuk upaya pelestarian penyu.
Bentuk eksploitasi penyu gaya baru ini berupa “peternakan penyu” (sea turtle farming) dan “pembesaran tukik” (sea turtle head-starting) yang seringkali disalahpahami sebagai kegiatan “penangkaran Penyu” oleh masyarakat.
Peternakan Penyu
Peternakan penyu sebenarnya adalah sebuah usaha membesarkan tukik untuk tujuan komersial yaitu untuk dipertontonkan, diambil dagingnya, atau dijual sebagai binatang peliharaan. Di sebuah peternakan penyu di Indonesia, mereka melakukan “pencucian” penyu dengan cara mendatangkan penyu dewasa hasil tangkapan di alam untuk dijadikan atraksi bagi turis. Para pengunjung diperbolehkan menyentuh penyu dewasa tersebut, bahkan diperbolehkan duduk di atas penyu tersebut untuk diambil foto.
Dalam keadaan stres penyu cenderung tidak akan memberontak dan diam saja ketika diganggu oleh para pengunjung. Apabila telah dirasa cukup lama seekor penyu dipertontonkan, maka penyu tersebut seringkali juga, dipotong untuk diambil dagingnya. Penyu-penyu dewasa hasil tangkapan yang lain didatangkan untuk menggantikan penyu yang dipotong. Dengan kurangnya pengawasan dari pemerintah, maka pemerintah tidak tahu bahwa tempat wisata ini telah “mencuci” kegiatan pembunuhan penyu atas wisata.
Pembesaran tukik adalah usaha untuk membesarkan tukik (bayi penyu) hingga usia dan ukuran tertentu sebelum di lepas ke laut, dengan harapan agar tingkat keselamatan tukik menjadi lebih tinggi. Kegiatan ini sepintas terdengar baik dan mulia, namun kurang memperhatikan siklus kehidupan penyu secara menyeluruh. Meskipun tidak seburuk kegiatan peternakan penyu, pembesaran tukik tidak dapat diterima dalam sebuah usaha konservasi penyu karena tidak ada percobaan pembesaran tukik yang berhasil. Kegiatan ini dinilai terlalu ceroboh dengan penjelasan sebagai berikut:
- “Penyu adalah satwa unik yang memiliki siklus kehidupan yang jauh lebih rumit daripada yang diketahui kebanyakan orang. Semenjak pertama kali mereka ditetaskan, tukik sudah harus mengalami serangkaian proses yang harus mereka alami sendiri untuk melatih insting mereka agar mereka dapat menjalani proses kehidupan secara utuh dan menghasilkan keturunan.”
- Tukik yang menetas harus segera secepatnya merangkak dan berenang ke laut untuk menghindari predator seperti anjing, kucing, biawak, elang, kepiting, anak hiu, gurita dan lain-lain. Para ahli mengatakan dari 1000 tukik yang menetas hanya ada satu yang mampu bertahan menjadi penyu dewasa. Dalam proses menuju laut tukik mengerahkan semua inderanya untuk merekam perjalanan sehingga ketika tiba saatnya bagi tukik yang telah dewasa untuk kembali ke pantai dimana dia menetas, maka dia mampu menemukan jalan pulang.
- Tukik harus menjauhi pantai secepatnya untuk menghindari predator, terlambat sedikit saja maka peluang tukik untuk bertahan hidup akan semakin mengecil. Setelah tukik berhasil selamat dari ancaman para predator, maka tukik akan datang di perairan dalam dimana dia akan sampai di arus yang lebih kuat yang tidak dapat dilawan oleh tukik. Tukik akan menghanyutkan diri ke dalam arus itu dan akan beristirahat selama beberapa hari di dalam arus itu. Setiap tukik telah dibekali zat kuning telur (yolk) sebagai bekal perjalanannya yang menurut ahli, kuning telur itu akan bertahan selama tiga hari. Ketika zat kuning telur mulai habis, tukik akan mulai belajar memakan makanan alami yang mereka temukan di samudra.
- Periode dimana tukik menghanyutkan diri ini disebut dengan masa-masa yang hilang (the lost years). Tukik akan tetap hanyut dan bertumbuh hingga sampai tiba waktunya dia akan kembali ke perairan di dekat pantai dimana dia dulu menetas. Tukik yang telah bertumbuh menjadi penyu dewasa (usia 35-40 tahun) akan kawin kemudian bertelur di pantai yang sama sebanyak 3 hingga 7 kali dalam satu periode peneluran. Tukik-tukik kecil yang baru akan menetas dua bulan setelahnya dan harus melalui pengalaman yang sama seperti yang seperti dialami oleh induknya terdahulu. Dengan demikian siklus kehidupan berulang kembali, demikian seterusnya.
- Praktek pembesaran tukik dilakukan dengan prasangka bahwa usaha manusia untuk membesarkan tukik hingga ukuran tertentu dapat sukses mengurangi tingkat kematian tukik akibat dimangsa predator. Tetapi upaya ini hanya murni didasari prasangka tanpa adanya dasar penelitian secara ilmiah manapun. Penelitian tentang pembesaran tukik terbesar dan terlama di dunia pernah sekali dilakukan di Florida-Amerika Serikat oleh DNR (Department of Nature Recourse). Penelitian ini dianggap sebagai terlama dan terbesar karena memakan waktu penelitian selama 30 tahun dengan melibatkan 18.000 ekor tukik. Program ini dimulai pada tahun 1958 dan dihentikan pada tahun 1988 karena tidak memperoleh hasil apapun dan tidak dapat memberikan bukti nyata bahwa tukik yang dibesarkan dapat menjadi penyu dewasa yang menghasilkan keturunan.
- Selain dianggap gagal, program ini juga telah memakan biaya yang luar biasa besar. Karena untuk membesarkan penyu dengan baik, seseorang harus secara serius menyediakan fasilitas, akomodasi dan makanan yang harus menyerupai di habitat alami penyu alami. Artinya diperlukan kolam yang luas atau bahkan teluk yang dimodifikasi, dan diperlukan pakan penyu hidup dalam jumlah besar dan berkesinambungan. Ini membutuhkan energi dan uang dalam jumlah yang besar.
- Sementara praktik pembesaran penyu di Indonesia sama sekali tidak bisa dianggap sebagai program “head-start” karena prosesnya dilakukan secara tidak benar, tidak berdasarkan kepada penelitian ilmiah manapun dan lebih berpihak pada kepentingan komersil.
Permasalahan Pembesaran Tukik di Indonesia
Praktik pembesaran tukik di Indonesia hanya mendatangkan masalah karena dilakukan dengan biaya minimal untuk mendatangkan keuntungan yang besar. Permasalahan itu antara lain;
- Penangkaran menyediakan kolam yang dangkal, padahal tukik membutuhkan latihan menyelam agar paru-paru mereka dapat berkembang.
- Di beberapa tempat donatur membantu penangkar dengan menyediakan kolam yang dalam, tetapi dengan alasan untuk mengirit biaya listrik dari pompa air, penangkar hanya mengisi seperempat atau bahkan sepersepuluh dari ketinggian kolam.
- Penangkar tidak memberikan pengobatan ketika tukik sakit, sehingga banyak tukik yang mati. Penyakit tersebut antara lain, jamur, bakteri dan protozoa yang timbul dari kolam yang kotor.
- Dengan alasan menyenangkan tamu, seringkali penangkar membiarkan tamu untuk menyentuh dan memainkan tukik yang menyebabkan tukik stress.
- Supaya tidak ribet dan memakan biaya, tukik diberi makan ikan mati cincang. Selain membunuh insting tukik untuk berburu makanan alami mereka, daging ikan cincang yang tidak termakan mengundang penyakit di dalam kolam itu.
- Di habitat alami tukik adalah binatang soliter, yaitu tukik tidak bekerja sama untuk berburu makanan, melindungi diri dan bertahan hidup. Sementara di penangkaran tukik ditaruh di dalam kolam secara bergerombol dengan tingkat kepadatan kolam yang sangat tinggi. Hal ini menyebabkan tukik menjadi stress atau saling mangsa (kanibal).
Dengan permasalahan pembesaran tukik yang disebutkan di atas tersebut, muncul dampak negatif bagi penyu dari praktek pembesaran tukik (head starting), antara lain:
- Tukik tidak dapat mengenali makanan alaminya dan tidak dapat berburu makanan hidup karena insting berburu mereka sudah tumpul akibat diberi makan manusia selama berbulan-bulan. Banyak sekali kasus tukik hasil pembesaran yang segera kembali ke pantai dalam keadaan kurus setelah satu minggu dilepaskan. Tukik-tukik ini gagal beradaptasi dengan habitat alami yang seharusnya.
- Karena sudah tergantung dengan manusia, tidak jarang tukik hanya berputar-putar di pulau dekat penangkaran dan mendatangi manusia dan perahu nelayan untuk meminta makan. Nelayan yang jahat akan memakai tukik sebagai umpan yang bagus untuk mendapatkan tangkapan yang besar.
- Tukik tidak dapat menjalani siklus kehidupan alaminya sehingga mereka akan gagal menjalankan fungsinya di alam dan gagal meneruskan keturunan.
Dengan segala macam permasalahan yang timbul akibat kegiatan peternakan penyu dan kegiatan pembesaran tukik, maka pelestarian penyu yang serius dan bersungguh-sungguh itu seharusnya dilakukan dengan sealami mungkin tanpa praktek pembesaran tukik atau peternakan penyu. Kegiatan pembesaran tukik di Indonesia menjadi rancu dengan kegiatan peternakan penyu (sea turtle farm) yang notabene dilakukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi saja tanpa memperdulikan kelestarian penyu.
Apa yang Bisa Anda Lakukan?
Pembesaran tukik dan peternakan penyu yang berorientasi komersil, jelas bukanlah tindakan konservasi penyu yang bijak, itu adalah bentuk eksploitasi atas nama konservasi penyu. Jika anda penduli akan pelestarian penyu, anda bisa membantunya dengan cara yang sederhana dan murah, antara lain:
- Jangan pernah berkunjung ke tempat wisata yang melakukan kegiatan pembesaran tukik atau peternakan penyu
- Jangan pernah memberikan donasi ke kegiatan pembesaran tukik yang nyata-nyata itu melanggar kaidah kesejahteraan satwa
- Laporkan ke ProFauna jika anda melihat kegiatan eksploitasi penyu atas nama konservasi di daerah anda. Kirim email ke: profauna@profauna.net
Sumber Refeensi : Rezkibudiyawan.Blogspot.Com, Www.Profauna.Com