"SELAMAT DATANG DI BLOG GEOGRAFI LINGKUNGAN""(EKOGEO)"

Friday, December 21, 2018

RAS MANUSIA DI DUNIA

   
    Ras (dari bahasa Prancis race, yang sendirinya dari bahasa Latin radix, "akar") adalah suatu sistem klasifikasi yang digunakan untuk mengkategorikan manusia dalam populasi atau kelompok besar dan berbeda melalui ciri fenotipe, asal usul geografis, tampang jasmani dan kesukuan yang terwarisi. Di awal abad ke-20 istilah ini sering digunakan dalam arti biologis untuk menunjuk populasi manusia yang beraneka ragam dari segi genetik dengan anggota yang memiliki fenotipe (tampang luar) yang sama. Arti "ras" ini masih digunakan dalam antropologi forensik (dalam menganalisa sisa tulang), penelitian biomedis dan kedokteran berdasarkan asal usul.
   Di samping itu, di Amerika Serikat misalnya, penegak hukum menggunakan istilah "ras" dalam menentukan profil tersangka dan penggambaran kembali tampang sisa yang belum diidentifikasi.
Selain itu, karena di banyak masyarakat, pengelompokan berdasarkan "ras" mengikuti pola pelapisan sosial, bagi ilmuwan sosial yang meneliti kesenjangan sosial, "ras" dapat menjadi variabel yang berarti. Sebagai faktor sosiologis, kategori "ras" dapat secara terbatas mencerminkan penjelasan yang subyektif, mengenai jati diri dan lembaga sosial.
   Oleh karena itu, paradigma "ras" yang digunakan dalam berbagai disiplin menekan dengan cara yang beraneka pada sifat biologis atau pada segi konstruk sosial.
   Walau para biologis kadang-kadang menggunakan paham "ras" untuk membuat pembedaan antara kumpulan ciri-ciri yang rancu, ilmuwan lain mengajukan wawasan bahwa paham "ras" sering digunakan secara naif atau terlalu sederhana.
    "Ras" tidak memiliki arti taksonomis untuk manusia : semua manusia adalah anggota dari subspesies hominid yang sama yaitu Homo sapiens sapiens. Paham sosial dan pengelompokan ras berubah dengan waktu, termasuk taksonomi awam  yang menentukan tipe orang yang bersifat esensialisme berdasarkan ciri-ciri yang terlihat. Para ilmuwan menganggap esensialisme biologis sudah ketinggalan zaman, dan pada umumnya tidak mendukung penjelasan berdasarkan ras untuk pembedaan kelompok, baik dari segi ciri-ciri jasamni maupun kelakuan.
    Saat orang menentukan dan menggunakan satu paham tertentu untuk "ras", mereka menciptakan suatu kenyataan sosial di mana diterapkan suatu kategorisasi sosial tertentu Oleh sebab itu "ras" dipandang sebagai konstruk sosial.Konstruk tersebut berkembang dalam berbagai konteks hukum, ekonomi dan sosio-politik, dan boleh jadi lebih merupakan akibat daripada sebab dari kenyataan sosial. Walau banyak ilmuwan berpandangan bahwa "ras" adalah suatu konstruk sosial, kebanyakan pakar setuju bahwa "ras" memiliki dampak material yang nyata dalam diskriminasi perhunian, proses hukum, praktik politik, pendidikan dll.
   Teori Omi dan Winant mengenai pembentukan ras mengatakan bahwa "ras adalah suatu konsep yang mengartika dan melambangkan pertentangan dan kepentingan sosial melalui pengacuan pada tipe jasmani manusia yang berbeda.”
     Arti dan maksud dari istilah "ras" dihasilkan dan digunakan oleh lembaga sosial melalui pandangan bersifat kebudayaan. Sejak Omi dan Winant, para akademisi telah menyusun dan meninjau kembali maksud "ras" sebagai konstruksi sosial dengan meneliti cara gambaran, paham dan asumsio mengenai "ras" dirumuskan dalam kehidupan sehari-hari. Angela Davis, Ruth Gilmore, dan Imani Perry telah menelusuri hubungan antara paham "ras" dari segi sejarah dan sosial production dalam bahasa hukum dan pidana, dan dampaknya atas kebijakan terhadap orang Hitam di Amerika, dan jumlah mereka dalam penjara yang sudah tidak proporsional lagi.
   Faktor sosio dan ekonomi berakibatkan penderitaan yang sangat besar di dalam kelompok yang telantar. Diskriminasi rasial sering bertepatan dengan pola pikir yang rasis , di mana para individu dan ideologi satu kelompok melihat anggota dari kelompok lain sebagai suatu "ras" tertentu yang lebih rendah secara moral.Alhasil, kelompok yang tidak banyak berkuasa sering terasing atau tertindas, sedangkan individu dan lembaga yang dominan dituduh bersikap rasis. Rasisme berakibatkan banyak contoh tragedi, termasuk perbudakan dan genosida

Paham modern pertama tentang "ras"
    Tiga "ras" besar menurut buku Meyers Konversationslexikon dari Jerman tahun 1885-90. Subtipe "ras Mongoloid" ditandai dengan warna kuning dan jingga, "ras Kaukasoid" dalam warna keabu-abuan dan "ras Negroid" dalam warna coklat. Orang Dravida dan Singhala diwarnai hijau zaitun dan klasifikasi mereka dinyatakan sebagai kurang menentu. "Ras Mongoloid" adalah yang terluas penyebarannya, termasuk kedua Amerika, Asia Utara, Asia Timur, Asia Tenggara dan keseluruhan Arktik yang dihuni manusia.
    Boleh jadi kelompok manusia dari dulu selalu menentukan diri sendiri sebagai berbeda dari kelompok lain. Namun, perbedaan tersebut belum tentu selalu dipandang sebagai sesuatu yang alami, tak terubahkan dan menyeluruh. Pandang seperti ini merupakan ciri-ciri khas paham "ras" yang digunakan pada masa kini.
    Pada awalnya, kata "ras" dipakai untuk menunjuk suatu bangsa atau kelompok etnis. Marco Polo misalnya, dalam bukunya yang ditulis pada abad ke-13, menguraikan "ras Persia".Paham "ras" masa kini baru muncul pada abad ke-17.
    Paham Eropa tentang "ras", sejalan dengan sejumlah paham yang sekarang dikaitkan dengan istilah tersebut, muncul pada saat revolusi ilmiah, di mana penelitian alam dimulai dan diutamakan, dan masa imperialisme dan kolonialisme Eropa yang menciptakan hubungan politik antara orang Eropa dan bangsa yang memiliki tradisi kebudayaan dan politik yang berbeda.
     Dengan bertemunya orang Europa dengan bangsa dari berbagai bagian dunia, mereka membahas perbedaan jasmani, sosial dan kebudayaan di antara berbagai kelompok manusia. Munculnya perniagaan budak di Atlantik, yang secara berangsur menggantikan perniagaan budak yang lebih lama di seluruh dunia, makin mendorong untuk mengkategorikan kelompok manusia demi membenarkan ditundukkannya budak asal Afrika.    
 Dengan mengacu kepada sumber Klasik mereka dan hubungan antar bangsa Eropa sendiri — misalnya, permusuhan bebuyutan antara Inggris dan Prancis sangat berpengaruh atas pemikiran Eropa awal mengenai perbedaan antar bangsa — orang Eropa mulai mengotakkan mereka sendiri dan bangsa lain dalam kelompok berdasarkan tampang jasmani, dan melekatkan pada individu dalam kelompok tersebut, perilaku dan kemampuan yang dianggap mengakar dalam-dalam. Berkembanlah sejumlah kepercayaan yang mengaitkan perbedaan jasmani antar kelompok yang terwarisi, dengan sifat intelektual, perilaku dan moral yang juga dikira terwarisi di dalamnya.
     Paham serupa ditemukan pada kebudayaan lain,misalnya di Tiongkok, di mana suatu konsep yang diterjemahkan dengan istilah "ras" dikaitkan dengan yang dipercayai adalah keturunan bersama dari Kaisar Kuning, dan digunakan untuk menegaskan kesatuan para kelompok etnis di Tiongkok China. Pertikaian penuh kekerasan antar kelompok etnis sempat terjadi di sepanjang sejarah dan di seluruh dunia.

Klasifikasi Ras Manusia
    Klasifikasi pasca-klasik yang pertama manusia dalam "ras" diketahui adalah Nouvelle division de la terre par les différents espèces ou races qui l'habitent ("Pembagian baru Bumi oleh spesies atau ras yang menghuninya") oleh François Bernier dari Prancis, yang diterbitkan tahun 1684.
    Pada abad ke-18, perbedaan antara kelompok manusia menjadi bahan penyelidikan ilmiah. Namun klasifikasi ilmiah mengenai variasi fenotipe sering disertai gagasan rasis mengenai kemampuan yang dianggap melekat pada berbagai kelompok, yang selalu memberi ciri-ciri yang paling bagus kepada orang Eropa atau orang Kulit putih, dan memperingkatkan "ras" lain dalam suatu kontinuum ciri-ciri yang secara berangsur menjadi kurang bagus. Klasifikasi Carolus Linnaeus, pencipta taksonomi zoologis, tahun 1755 membagi ras manusia Homo Sapiens dalam varietas "Europaeus", "Asiaticus", "Americanus" dan "Afer", yang masing-masing dikaitkan dengan watak yang berbeda : "sanguine", "melancolis", "choleric" dan "bilious" Homo Sapiens Europeaus dikatakan aktif, cerdas dan petualang, sedangkan Homo Sapiens Afer dikatakan licik, pemalas dan sembrono.
    Dalam bukunya berjudul The Natural Varieties of Mankind, Johann Friedrich Blumenbach yang diterbitkan tahun 1775 mengajukan lima kelompok besar : "ras Kaukasoid", "ras Mongoloid", "ras Etiopia" (yang kemudian dinamakan "ras Negroid"), "ras Indian" dan "ras Melayu", namun dia tidak mengusulkan peringkatan apa pun antara para ras.
    Dari abad ke-17 sampai 19, pelemburan kepercayaan orang awam mengenai perbedan antar kelompok, dengan penjelasan ilmiah mengenai perbedaan ini, menghasilkan apa yang oleh salah satu pakar disebut "ideologi tentang ras". Menurut ideologi ini, ras adalah mendasar, alami, lestari dan terpisah. Di Amerika Serikat, teori ras Thomas Jefferson berpengaruh. Dia melihat orang Afrika lebih rendah daripada orang Kulit putih, khususnya dari segi kecerdasan, dan memiliki nafsu seks yang kelebihan, tetapi menganggap orang Indian setara dengan orang Kulit putih.
    Di dua dasawarsa terakhir abad ke-18poligenisme, yaitu kepercayaan bahwa "ras" yang berbeda telah berkembang secara terpisah di setiap benua dan tidak memiliki moyang yang sama, diajukan di Inggris oleh sejarawan Edward Long dan anatomis Charles White, di Jerman oleh etnograf Christoph Meiners dan Georg Forster, di Prancis oleh Julien Virey dan di Amerika Serikat oleh Samuel Morton, Josiah Nott dan Louis Agassiz. Poligenisme popular dan paling menyebar pada abad ke-19, dan memuncak dengan didirikannya Anthropological Society of London selama American civil war, bertentangan denga Ethnological Society of London yang anti-perbudakan.

Model evolusi manusia
    Asal usul manusia modern dari Afrika dan Asal usul multiregional manusia modern. Dalam suatu artikel pada tahun 1995, Leonard Lieberman dan Fatimah Jackson menyatakan bahwa dukungan baru mana pun untuk suatu paham biologis tentang "ras" kemungkinan besar akan datang dari penelitian tentang evolusi manusia. Menurut mereka, pertanyaannya adalah mengenai akibat model evolusi manusia yang ada sekarang atas paham "ras" yang berdasarkan biologi.
    Saat ini semua manusia diklasifikasi sebagai anggota dari spesies Homo sapiens dan subspesies Homo sapiens sapiens. Namun manusia bukan spesies homininae pertama. Spesies pertama dari genus Homo adalah Homo habilis, yang diperkirakan muncul di Afrika Timur paling sedikit 2 juta tahun lalu. Anggota dari spesies ini menghuni berbagai bagian Afrika dalam waktu yang agak singkat. Homo erectus diteorikan berkembang lebih dari 1,8 juta tahun silam, dan sekitar 1,5 juta tahun silam bersebar di Eropa dan Asia. Hampir semua antropolog fisik setuju bahwa Homo sapiens berkembang dari Homo erectus Afrika ((sensu lato) atauHomo ergaster).
    Kebanyakan antropolog berpikir bahwa Homo sapiens berkembang di Afrika Timur, dan kemudian bermigrasi keluar dari Afrika, menggantikan populasi H. erectus di Eropa dan Asia (model "asal usul manusia modern dari Afrika). Recent Human evolutionary genetics ( Jobling, Hurles and Tyler-Smith, 2004) support this “Out of Africa” model, however the recent sequencing of the Neanderthal and Denisovan genomes shows some admixtur

"Ras" sebagai konstruksi sosial
     Para antropolog dan ilmuwan evolusi lain sudah beralih dari istilah "ras" ke istilah "populasi" untuk membahas perbedaan genetika. Para sejarawan, antropolog kebudayaan dan ilmuwan sosial memahamkan kembali istilah "ras" sebagai kategori kebudayaan atau konstruksi sosial, suatu cara tertentu orang bicara tentang mereka sendiri dan tentang orang lain.
    Banyak ilmuwan sosial sudah menggantikan istilah "ras" dengan kata "kelompok etnik" untuk menunjuk kelompok yang mengidentifikasi diri sendiri berdasarkan kepercayan mereka mengenai kebudayaan, asal usul dan sejarah bersama. Selain masalah empiris dan konseptual yang dibawa paham "ras," setelah Perang Dunia Kedua, para ilmuwan di bidang evolusi dan sosial sangat menyadari betapa kepercayaan mengenai "ras" diperalat untuk membenarkan dissriminasi, apartheid, perbudakan dan genosid.
    Pertanyaan ini bertambah ramai pada tahun 1960-an dengan gerakan hak sipil di Amerika Serikat dan munculnya banyak gerakan anti-kolonial di seluruh dunia. Para ilmuwan akhirnya mulai berpikir bahwa "ras" adalah suatu konstruksi sosial, suatu paham yang orang percaya adalah suatu kenyataan obyectif tetapi sebetulnya mendapat kepercayaan karena fungsi sosialnya.
      Tahun 2000, Craig Venter dan Francis Collins dari National Institute of Health (lembaga kesehatan nasional) fi Amerika Serikat mengumumkan bersama suatu pemetaan dari genom manusia. Setelah meneliti data dari pemetaan genom tersebut, Venter melihat bahwa walau besaran variasi genetik dalam spesies manusia adalah sekitar 1–3% (yaitu lebih dari 1% yang diperkirakan semula), tipe variasi tersebut tidak mendukung paham "ras" dalam arti genetik.
     Venter mengatakan bahwa "Ras adalah suatu konsep sosial. Buka konsep ilmiah. Tidak ada garis yang jelas (yang akan muncul), seandainya kita membandingkan semua genom bersekuensi dari semua orang di atas planet ini." "Bila kita coba menerapkan ilmu untuk mencoba menyusun perbedaan sosial tersebut, runtuh semuanya."
    Stephan Palmié menegaskan bahwa "ras" "bukan suatu benda tetapi suatu hubungan sosial"; atau, dengan kataKatya Gibel Mevorach, "suatu metonim," "suatu karangan manusia yang kriteria pembedaannya tidak universal dan tidak tetap, tetapi selalu digunakan untuk mengatur perbedaan." Dengan demikian, penggunaan kata "ras" sendiri perlu dianalisa. Lebih dari itu, Palmié dan Mevorach mengatakan bahwa biologi tidak akan dapat menjelaskan mengapa atau bagaimana orang menggunakan paham "ras". Yang akan menjelaskannyua adalah sejarah dan tatanan sosial.
   Ras adalah pengelompokan manusia berdasarkan kualitas fisik atau sosial bersama ke dalam kategori yang secara umum dipandang berbeda oleh masyarakat.  Pertama digunakan untuk merujuk pada penutur bahasa yang sama dan kemudian untuk menunjukkan afiliasi nasional , pada abad ke-17 istilah ras mulai mengacu pada ciri-ciri fisik ( fenotipik ). Ilmuwan modern menganggap ras sebagai konstruksi sosial , yaitu identitas simbolik yang diciptakan untuk membangun makna budaya. Sementara sebagian didasarkan pada kesamaan fisik dalam kelompok, ras bukanlah kualitas fisik atau biologis yang melekat.
   Konsepsi sosial dan pengelompokan ras bervariasi dari waktu ke waktu, melibatkan taksonomi rakyat yang mendefinisikan tipe - tipe individu yang esensial berdasarkan pada sifat-sifat yang dirasakan. Para ilmuwan menganggap esensialisme biologis sudah usang,  dan umumnya tidak mendukung penjelasan rasial untuk diferensiasi kolektif baik dalam sifat fisik maupun perilaku. 
    Meskipun ada kesepakatan ilmiah luas bahwa konseptualisasi esensialis dan tipologis ras tidak dapat dipertahankan, para ilmuwan di seluruh dunia terus mengonseptualisasikan ras dengan cara yang sangat berbeda, beberapa di antaranya memiliki implikasi esensialis.  Sementara beberapa peneliti menggunakan konsep ras untuk membuat perbedaan di antara seperangkat sifat kabur atau perbedaan perilaku yang dapat diamati, yang lain dalam komunitas ilmiah menyarankan bahwa gagasan ras sering digunakan dalam cara naif  atau sederhana, dan berpendapat bahwa, di antara manusia, ras tidak memiliki signifikansi taksonomi dengan menunjukkan bahwa semua manusia yang hidup memiliki spesies yang sama, Homo sapiens , dan (sejauh yang berlaku) subspesies , Homo sapiens sapiens .
    Sejak paruh kedua abad ke-20, asosiasi ras dengan ideologi dan teori rasisme ilmiah telah menyebabkan penggunaan kata ras itu sendiri menjadi bermasalah. Meskipun masih digunakan dalam konteks umum, ras sering kali digantikan oleh istilah yang kurang ambigu dan penuh : populasi , orang , kelompok etnis , atau komunitas , tergantung pada konteksnya.

Mendefinisikan ras
    Ilmuwan modern memandang kategori rasial sebagai konstruksi sosial , yaitu, ras bukan intrinsik bagi manusia tetapi lebih merupakan identitas yang diciptakan, seringkali oleh kelompok-kelompok yang dominan secara sosial, untuk membangun makna dalam konteks sosial.
    Ini sering melibatkan penaklukan kelompok-kelompok yang didefinisikan sebagai ras yang lebih rendah, seperti dalam aturan one-drop yang digunakan di Amerika Serikat abad ke-19 untuk mengecualikan mereka dengan jumlah keturunan Afrika dari pengelompokan ras dominan, yang didefinisikan sebagai " putih ". Identitas rasial semacam itu mencerminkan sikap budaya dari kekuatan kekaisaran yang dominan selama masa ekspansi kolonial Eropa .  Pandangan ini menolak anggapan bahwa ras didefinisikan secara biologis . 
    Meskipun kesamaan dalam ciri-ciri fisik seperti fitur wajah, warna kulit, dan tekstur rambut merupakan bagian dari konsep ras, yang terakhir adalah perbedaan sosial daripada yang secara inheren biologis.  Dimensi lain dari pengelompokan ras termasuk sejarah, tradisi, dan bahasa bersama. Misalnya, bahasa Inggris Afrika-Amerika adalah bahasa yang dituturkan oleh banyak orang Afrika-Amerika , terutama di wilayah Amerika Serikat di mana pemisahan rasial ada. Selain itu, orang sering mengidentifikasi diri sebagai anggota ras karena alasan politik.
    Ketika orang mendefinisikan dan berbicara tentang konsepsi ras tertentu, mereka menciptakan realitas sosial di mana kategorisasi sosial tercapai.  Dalam hal ini, ras dikatakan sebagai konstruksi sosial. Konstruksi-konstruksi ini berkembang dalam berbagai konteks hukum, ekonomi, dan sosiopolitik , dan mungkin merupakan efek, bukan penyebab, dari situasi sosial utama. Sementara ras dipahami sebagai konstruksi sosial oleh banyak orang, sebagian besar sarjana sepakat bahwa ras memiliki efek material yang nyata dalam kehidupan orang-orang melalui praktik-praktik preferensi dan diskriminasi yang dilembagakan .
    Faktor-faktor sosial ekonomi, dalam kombinasi dengan pandangan awal tetapi abadi tentang ras, telah menyebabkan banyak penderitaan dalam kelompok ras yang kurang beruntung.  Diskriminasi rasial sering bertepatan dengan pola pikir rasis, di mana individu dan ideologi dari satu kelompok datang untuk menganggap anggota kelompok luar sebagai yang didefinisikan secara rasial dan inferior secara moral. Akibatnya, kelompok-kelompok ras yang memiliki kekuatan relatif kecil seringkali mendapati diri mereka dikucilkan atau ditindas, sementara individu-individu dan institusi - institusi hegemonik dituduh memegang sikap rasis.  Rasisme telah menyebabkan banyak contoh tragedi, termasuk perbudakan dan genosida .
    Di beberapa negara, penegakan hukum menggunakan ras ke profil tersangka. Penggunaan kategori rasial ini sering dikritik karena melanggengkan pemahaman usang tentang variasi biologis manusia, dan mempromosikan stereotip. Karena di beberapa masyarakat, pengelompokan ras berhubungan erat dengan pola stratifikasi sosial , bagi para ilmuwan sosial yang mempelajari ketimpangan sosial, ras dapat menjadi variabel yang signifikan. Sebagai faktor sosiologis , kategori ras mungkin sebagian mencerminkan atribusi subjektif , identitas diri , dan lembaga sosial. 
    Para sarjana terus memperdebatkan sejauh mana kategori rasial dijamin secara biologis dan dibangun secara sosial. Misalnya, pada tahun 2008, John Hartigan, Jr berpendapat untuk pandangan ras yang berfokus terutama pada budaya, tetapi yang tidak mengabaikan potensi relevansi biologi atau genetika. Dengan demikian, paradigma rasial yang digunakan dalam berbagai disiplin ilmu berbeda dalam penekanannya pada reduksi biologis yang berbeda dengan konstruksi masyarakat.
   Dalam ilmu sosial, kerangka kerja teoritis seperti teori pembentukan ras dan teori ras kritis menyelidiki implikasi ras sebagai konstruksi sosial dengan mengeksplorasi bagaimana gambar, ide dan asumsi ras diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Sejumlah besar ilmuwan telah melacak hubungan antara sejarah, produksi sosial ras dalam bahasa hukum dan kriminal, dan dampaknya terhadap pemolisian dan penahanan yang tidak proporsional dari kelompok-kelompok tertentu.

Asal usul historis klasifikasi ras
    Tiga ras besar menurut Meyers Konversations-Lexikon tahun 1885-90. Subtipe dari ras Mongoloid ditampilkan dalam warna kuning dan oranye , mereka dari ras Kaukasoid dalam warna abu-abu hijau dan cyan sedang dan abu-abu sedang dari ras Negroid dalam warna coklat . Dravida dan Sinhala berwarna hijau zaitun dan klasifikasi mereka digambarkan sebagai tidak pasti. Ras Mongoloid melihat distribusi geografis terluas, termasuk semua Amerika , Asia Utara , Asia Timur , dan Asia Tenggara , seluruh Kutub Utara berpenghuni sementara mereka membentuk sebagian besar Asia Tengah dan Kepulauan Pasifik .
    Kelompok manusia selalu mengidentifikasi diri mereka sebagai berbeda dari kelompok tetangga, tetapi perbedaan seperti itu tidak selalu dipahami sebagai sesuatu yang alami, tidak dapat berubah, dan global. Fitur-fitur ini adalah fitur yang membedakan bagaimana konsep ras digunakan saat ini. Dengan cara ini, ide ras seperti yang kita pahami hari ini muncul selama proses historis eksplorasi dan penaklukan yang membawa orang Eropa ke dalam kontak dengan kelompok-kelompok dari berbagai benua, dan tentang ideologi klasifikasi dan tipologi yang ditemukan dalam ilmu-ilmu alam.  Istilah ras sering digunakan dalam pengertian taksonomi biologis umum, mulai dari abad ke-19, untuk menunjukkan populasi manusia yang terdiferensiasi secara genetik yang ditentukan oleh fenotipe.

Kolonialisme
     Menurut Smedley dan Marks, konsep "ras" Eropa, bersama dengan banyak gagasan yang sekarang terkait dengan istilah tersebut, muncul pada saat revolusi ilmiah , yang memperkenalkan dan mengistimewakan studi jenis-jenis alami , dan zaman imperialisme Eropa. dan penjajahan yang membangun hubungan politik antara orang Eropa dan orang-orang dengan tradisi budaya dan politik yang berbeda. Ketika orang Eropa bertemu orang-orang dari berbagai belahan dunia , mereka berspekulasi tentang perbedaan fisik, sosial, dan budaya di antara berbagai kelompok manusia. Munculnya perdagangan budak Atlantik , yang secara bertahap menggantikan perdagangan budak di seluruh dunia, menciptakan insentif lebih lanjut untuk mengkategorikan kelompok manusia untuk membenarkan subordinasi budak Afrika.
    Dengan mengambil sumber-sumber dari zaman kuno klasik dan melalui interaksi internal mereka sendiri - misalnya, permusuhan antara Inggris dan Irlandia secara kuat mempengaruhi pemikiran Eropa awal tentang perbedaan antara orang-orang - Eropa mulai memilah diri sendiri dan orang lain ke dalam kelompok berdasarkan penampilan fisik. , dan untuk menghubungkan individu dengan perilaku dan kapasitas kelompok ini yang diklaim telah mendarah daging. Seperangkat kepercayaan rakyat muncul yang menghubungkan perbedaan fisik yang diwariskan antara kelompok dengan kualitas intelektual , perilaku , dan moral yang diwariskan . Gagasan serupa dapat ditemukan dalam budaya lain, misalnya di Cina , di mana konsep yang sering diterjemahkan sebagai "ras" dikaitkan dengan keturunan umum yang seharusnya dari Kaisar Kuning , dan digunakan untuk menekankan kesatuan kelompok etnis di Cina. Konflik brutal antar kelompok etnis telah ada sepanjang sejarah dan di seluruh dunia.

Model taksonomi awal
     Klasifikasi manusia pasca -Graeco-Romawi pertama yang diterbitkan tentang ras manusia ke ras yang berbeda tampaknya adalah pembagian Nouvelle karya François Bernier dari la terre par les espéces ou races qui l'habitent ("Pembagian Bumi baru oleh spesies atau ras berbeda yang mendiami itu "), diterbitkan pada 1684. Pada abad ke-18 perbedaan antara kelompok manusia menjadi fokus penyelidikan ilmiah.
     Tetapi klasifikasi ilmiah variasi fenotipik sering digabungkan dengan ide-ide rasis tentang kecenderungan bawaan dari kelompok yang berbeda, selalu mengaitkan fitur yang paling diinginkan dengan ras Putih, ras Eropa dan mengatur ras lain sepanjang rangkaian atribut yang semakin tidak diinginkan. Klasifikasi Carl Linnaeus tahun 1735, penemu taksonomi zoologi, membagi spesies manusia Homo sapiens menjadi varietas benua europaeus , asiaticus , americanus , dan afer , masing-masing dikaitkan dengan humor yang berbeda: masing-masing: sanguin , melankolik , kolerik , dan aplegmatik .  Homo sapiens europaeus digambarkan sebagai aktif, akut, dan suka bertualang, sedangkan Homo sapiens afer dikatakan licik, malas, dan ceroboh.
    Risalah 1775 "The Varietas Alam Manusia", oleh Johann Friedrich Blumenbach mengusulkan lima divisi utama: ras Kaukasoid , ras Mongoloid , ras Ethiopia (kemudian disebut Negroid ), ras Indian Amerika , dan ras Malaya , tetapi ia melakukannya. tidak mengusulkan hierarki di antara ras. Blumenbach juga mencatat transisi bertingkat dalam penampilan dari satu kelompok ke kelompok yang berdekatan dan menyarankan bahwa "satu variasi umat manusia dengan bijaksana masuk ke yang lain, sehingga Anda tidak dapat menandai batas di antara mereka". 
    Dari abad 17 hingga 19, penggabungan kepercayaan rakyat tentang perbedaan kelompok dengan penjelasan ilmiah tentang perbedaan itu menghasilkan apa yang disebut Smedley sebagai " ideologi ras".  Menurut ideologi ini, ras adalah primordial, alami, abadi dan berbeda. Lebih lanjut dikatakan bahwa beberapa kelompok mungkin merupakan hasil dari campuran antara populasi yang sebelumnya berbeda, tetapi penelitian yang cermat dapat membedakan ras leluhur yang telah bergabung untuk menghasilkan kelompok yang dicampur.
     Klasifikasi berpengaruh selanjutnya oleh Georges Buffon , Petrus Camper dan Christoph Meiners semua diklasifikasikan "Negros" sebagai lebih rendah daripada orang Eropa.  Di Amerika Serikat , teori rasial Thomas Jefferson sangat berpengaruh. Dia melihat orang Afrika lebih rendah daripada kulit putih, terutama dalam hal kecerdasan mereka, dan dipenuhi dengan selera seksual yang tidak wajar, tetapi menggambarkan penduduk asli Amerika sama dengan orang kulit putih. 

Poligenisme vs monogenisme
     Dalam dua dekade terakhir abad ke-18, teori poligenisme , kepercayaan bahwa berbagai ras telah berevolusi secara terpisah di setiap benua dan tidak memiliki leluhur yang sama,  diadvokasi di Inggris oleh sejarawan Edward Long dan ahli anatomi Charles White , di Jerman oleh ahli etnografi Christoph Meiners dan Georg Forster , dan di Prancis oleh Julien-Joseph Virey .
    Di AS, Samuel George Morton , Josiah Nott dan Louis Agassiz mempromosikan teori ini pada pertengahan abad ke-19. Poligenisme populer dan paling tersebar luas di abad ke-19, yang memuncak pada berdirinya Masyarakat Antropologi London (1863), yang, selama periode Perang Sipil Amerika, memisahkan diri dari Masyarakat Etnologi London dan pendirian monogeniknya , menggarisbawahi perbedaan terletak, relevan, dalam apa yang disebut "pertanyaan Negro": pandangan rasis substansial oleh yang pertama,  dan pandangan yang lebih liberal tentang ras oleh yang terakhir.
      Saat ini, semua manusia diklasifikasikan sebagai spesies Homo sapiens . Namun, ini bukan spesies homininae pertama: spesies pertama dari genus Homo , Homo habilis , berevolusi di Afrika Timur setidaknya 2 juta tahun yang lalu, dan anggota spesies ini menghuni berbagai bagian Afrika dalam waktu yang relatif singkat. Homo erectus berevolusi lebih dari 1,8 juta tahun yang lalu, dan 1,5 juta tahun yang lalu telah menyebar ke seluruh Eropa dan Asia. Hampir semua antropolog fisik sepakat bahwa Archoic Homo sapiens (kelompok termasuk spesies yang mungkin H. heidelbergensis , H. rhodesiensis dan H. neanderthalensis ) berevolusi dari Homo erectus Afrika ( sensu lato ) atau Homo ergaster .
     Para antropolog mendukung gagasan bahwa manusia modern secara anatomis ( Homo sapiens ) berevolusi di Afrika Utara atau Timur dari spesies manusia purba seperti H. heidelbergensis dan kemudian bermigrasi keluar dari Afrika, bercampur dengan dan menggantikan H. heidelbergensis dan H populasi neanderthalensis di seluruh Eropa dan Asia, dan populasi H. rhodesiensis di Afrika Sub-Sahara (kombinasi model Out of Africa dan Multiregional ).

Klasifikasi biologis
    Informasi lebih lanjut: Ras (biologi) , Spesies , Subspesies , Sistematika , Filogenetik , dan Cladistics
Pada awal abad ke-20, banyak ahli antropologi mengajarkan bahwa ras adalah fenomena yang sepenuhnya biologis dan bahwa ini adalah inti dari perilaku dan identitas seseorang, suatu posisi yang biasa disebut esensialisme rasial .  Ini, ditambah dengan keyakinan bahwa kelompok-kelompok bahasa , budaya, dan sosial secara fundamental ada di sepanjang garis ras, membentuk dasar dari apa yang sekarang disebut rasisme ilmiah .
    Setelah program eugenika Nazi , bersamaan dengan munculnya gerakan-gerakan anti-kolonial, esensialisme rasial kehilangan popularitas luas. Studi baru tentang budaya dan bidang genetika populasi yang masih muda merusak posisi ilmiah esensialisme rasial, mengarahkan para antropolog ras untuk merevisi kesimpulan mereka tentang sumber variasi fenotipik.  Sejumlah besar antropolog dan biolog modern di Barat menganggap ras sebagai penunjukan genetik atau biologis yang tidak valid. 
    Yang pertama menentang konsep ras berdasarkan alasan empiris adalah antropolog Franz Boas , yang memberikan bukti plastisitas fenotipik karena faktor lingkungan,  dan Ashley Montagu , yang mengandalkan bukti dari genetika.  EO Wilson kemudian menantang konsep dari perspektif sistematika hewan umum, dan selanjutnya menolak klaim bahwa "ras" setara dengan "subspesies".
    Variasi genetik manusia sebagian besar dalam ras, kontinu, dan kompleks dalam struktur, yang tidak sesuai dengan konsep ras manusia genetik.  Menurut Jonathan Marks, Pada tahun 1970-an, menjadi jelas bahwa (1) sebagian besar perbedaan manusia adalah budaya; (2) apa yang bukan budaya pada prinsipnya bersifat polimorfik - artinya, ditemukan dalam kelompok-kelompok orang yang berbeda pada frekuensi yang berbeda; (3) yang bukan kultural atau polimorfik pada prinsipnya bersifat klinal - artinya, secara bertahap berubah-ubah dibandingkan geografi; dan (4) apa yang tersisa - komponen keanekaragaman manusia yang bukan budaya, polimorfik, atau clinal - sangat kecil.
   Konsensus yang dikembangkan di antara para antropolog dan ahli genetika bahwa ras sebagai generasi sebelumnya telah mengenalnya - sebagian besar terpisah, berbeda secara geografis, gen-gen - tidak ada.

Subspesies
     Istilah ras dalam biologi digunakan dengan hati-hati karena dapat membingungkan. Secara umum, ketika digunakan secara efektif sinonim dari subspesies .  (Untuk hewan, satu-satunya satuan taksonomi di bawah tingkat spesies biasanya adalah subspesies;  ada peringkat infraspesifik yang lebih sempit di botani , dan ras tidak berkorespondensi secara langsung dengan salah satu dari mereka.) Secara tradisional, subspesies dilihat secara geografis populasi yang terisolasi dan dibedakan secara genetik.  Studi variasi genetik manusia menunjukkan bahwa populasi manusia tidak terisolasi secara geografis,  dan perbedaan genetik mereka jauh lebih kecil daripada di antara subspesies yang sebanding.
    Pada tahun 1978, Sewall Wright menyarankan bahwa populasi manusia yang telah lama mendiami belahan dunia yang terpisah, secara umum, harus dianggap subspesies yang berbeda dengan kriteria bahwa sebagian besar individu dari populasi tersebut dapat dialokasikan dengan benar dengan inspeksi. Wright berpendapat bahwa, "Tidak perlu antropolog terlatih untuk mengklasifikasikan berbagai orang Inggris, Afrika Barat, dan Cina dengan akurasi 100% berdasarkan fitur, warna kulit, dan jenis rambut meskipun begitu banyak variabilitas dalam setiap kelompok ini sehingga setiap individu dapat dengan mudah dibedakan dari yang lain. " 
    Sementara dalam prakteknya subspesies sering didefinisikan oleh penampilan fisik yang mudah diamati, belum tentu ada signifikansi evolusioner terhadap perbedaan yang diamati ini, sehingga bentuk klasifikasi ini menjadi kurang dapat diterima oleh ahli biologi evolusi. Demikian juga pendekatan tipologis ini terhadap ras pada umumnya dianggap didiskreditkan oleh ahli biologi dan antropolog.

Populasi terdiferensiasi (clades)
    Beberapa peneliti [ siapa? ] telah mencoba mengklarifikasi ide ras dengan menyamakannya dengan ide biologis clade . Clade adalah kelompok organisme taksonomi yang terdiri dari satu nenek moyang tunggal dan semua keturunan leluhur itu (kelompok monofiletik ). Setiap makhluk yang diproduksi oleh reproduksi seksual memiliki dua garis keturunan langsung, satu ibu dan satu ayah.  Sementara Carl Linnaeus menetapkan taksonomi organisme hidup berdasarkan persamaan dan perbedaan anatomis, cladistics berupaya membentuk taksonomi - pohon filogenetik - yang didasarkan pada persamaan dan perbedaan genetik dan menelusuri proses perolehan berbagai karakteristik oleh organisme tunggal.
    Filsuf Robin Andreasen (2000) mengusulkan bahwa cladistics dapat digunakan untuk mengkategorikan ras manusia secara biologis, dan bahwa ras dapat dibuat secara biologis nyata maupun secara sosial. Andreasen mengutip diagram pohon jarak genetik relatif antara populasi yang diterbitkan oleh Luigi Cavalli-Sforza sebagai dasar untuk pohon filogenetik ras manusia: "Penelitian Cavalli-Sforza menggambarkan bahwa adalah mungkin untuk merekonstruksi sejarah evolusi manusia, dan ini berarti bahwa dimungkinkan untuk memberikan definisi ras yang kladistik "(hal. S661).
     Ahli biologi evolusi, Alan Templeton (2013) berpendapat bahwa sementara "Banyak literatur ilmiah terbaru tentang evolusi manusia menggambarkan populasi manusia sebagai cabang terpisah pada pohon evolusi," banyak garis bukti memalsukan struktur pohon filogenetik, dan mengkonfirmasi keberadaan aliran gen di antara populasi. Jonathan Marks (2008) berpendapat bahwa Andreasen telah salah menafsirkan literatur genetik: "Pohon-pohon ini adalah fenetik (berdasarkan kesamaan), daripada cladistic (berdasarkan berdasarkan keturunan monofiletik, yaitu dari serangkaian leluhur yang unik)."  Marks, Templeton, dan Cavalli-Sforza semua menyimpulkan bahwa genetika tidak memberikan bukti ras manusia.
    Antropolog Lieberman dan Jackson (1995) juga mengkritik penggunaan cladistics untuk mendukung konsep ras. Mereka mengklaim bahwa "pendukung molekuler dan biokimia dari model ini secara eksplisit menggunakan kategori ras dalam pengelompokan sampel awal mereka ". Sebagai contoh, kelompok-kelompok makro etnik besar dari India Timur, Afrika Utara, dan Eropa yang besar dan sangat beragam dikelompokkan sebagai Kaukasia sebelum analisis variasi DNA mereka.
    Hal ini diklaim membatasi dan memudarkan interpretasi, mengaburkan hubungan garis keturunan lainnya, mengurangi dampak dari faktor lingkungan klinal yang lebih langsung pada keragaman genom, dan dapat mengaburkan pemahaman kita tentang pola afinitas yang sebenarnya. Mereka menyarankan bahwa penulis studi ini menemukan dukungan untuk perbedaan ras hanya karena mereka mulai dengan mengasumsikan validitas ras. 
   "Untuk alasan empiris, kami lebih memilih untuk menekankan variasi clinal, yang mengakui keberadaan variasi herediter manusia adaptif dan secara bersamaan menekankan bahwa variasi tersebut tidak ditemukan dalam paket yang dapat dilabeli ras ."
    Kelompok populasi manusia tidak monofiletik, karena tampaknya selalu ada aliran gen yang cukup besar antara populasi manusia.  Keith Hunley, Graciela Cabana, dan Jeffrey Long menganalisis sampel Proyek Keragaman Genom Manusia dari 1.037 individu dalam 52 populasi.  Mereka menemukan bahwa populasi non-Afrika adalah subkelompok taksonomi dari populasi Afrika, bahwa "beberapa populasi Afrika sama-sama terkait dengan populasi Afrika lainnya dan populasi non-Afrika," dan bahwa "di luar Afrika, pengelompokan populasi regional adalah bersarang di dalam satu sama lain, dan banyak dari mereka tidak monofiletik. "  Rachel Caspari (2003) berpendapat bahwa karena saat ini tidak ada kelompok yang dianggap sebagai ras monofiletik, tidak ada kelompok yang dapat menjadi clades.

Populasi yang dibedakan secara morfologis
    Para ahli genetika populasi telah memperdebatkan apakah konsep populasi dapat memberikan dasar bagi konsepsi baru tentang ras. Untuk melakukan ini, definisi populasi yang berfungsi harus ditemukan. Yang mengejutkan, tidak ada konsep populasi yang diterima secara umum yang digunakan ahli biologi. Meskipun konsep populasi adalah pusat ekologi, biologi evolusi dan biologi konservasi, sebagian besar definisi populasi bergantung pada deskripsi kualitatif seperti "sekelompok organisme dari spesies yang sama yang menempati ruang tertentu pada waktu tertentu". Waples dan Gaggiotti mengidentifikasi dua jenis definisi untuk populasi; mereka yang jatuh ke dalam paradigma ekologis , dan mereka yang jatuh ke dalam paradigma evolusi .
    Contoh definisi tersebut adalah: 
  • Paradigma ekologis : Sekelompok individu dari spesies yang sama yang hidup bersama dalam ruang dan waktu dan memiliki kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain.
  • Paradigma evolusi : Sekelompok individu dari spesies yang sama hidup dalam jarak yang cukup dekat sehingga setiap anggota kelompok dapat berpotensi kawin dengan anggota lainnya. 

Sesardic berpendapat bahwa ketika beberapa sifat dianalisis pada saat yang sama, antropolog forensik dapat mengklasifikasikan ras seseorang dengan akurasi hampir 100% berdasarkan hanya pada kerangka yang tersisa.  Klaim Sesardic telah diperdebatkan oleh Massimo Pigliucci , yang menuduh Sesardic "mengambil bukti ilmiah dan mencapai kesimpulan yang bertentangan dengan itu." Secara khusus, Pigliucci berpendapat bahwa Sesardic salah mengartikan makalah oleh Ousley et al. (2009), dan lalai menyebutkan bahwa mereka mengidentifikasi perbedaan tidak hanya antara individu dari ras yang berbeda, tetapi juga antara individu dari suku yang berbeda, lingkungan lokal, dan periode waktu.  Ini dibahas di bagian selanjutnya.

Clines
   Salah satu inovasi penting dalam rekonseptualisasi variasi genotipik dan fenotipik adalah pengamatan antropolog C. Loring Brace bahwa variasi seperti itu, sejauh dipengaruhi oleh seleksi alam , migrasi lambat, atau pergeseran genetik , didistribusikan sepanjang gradasi geografis atau cline .  Misalnya, sehubungan dengan warna kulit di Eropa dan Afrika, Brace menulis:
Sampai hari ini, warna kulit dinilai dengan cara yang tidak terlihat dari Eropa selatan di sekitar ujung timur Mediterania dan naik ke Sungai Nil ke Afrika. Dari satu ujung kisaran ini ke ujung lainnya, tidak ada tanda batas warna kulit, namun spektrumnya bergerak dari yang paling ringan di dunia di ujung utara hingga setinggi mungkin bagi manusia untuk berada di garis katulistiwa.
    Sebagian ini disebabkan isolasi oleh jarak . Poin ini meminta perhatian pada masalah yang umum terjadi pada deskripsi ras berdasarkan fenotip (misalnya, yang didasarkan pada tekstur rambut dan warna kulit): mereka mengabaikan sejumlah persamaan dan perbedaan lainnya (misalnya, golongan darah) yang tidak berkorelasi tinggi dengan spidol untuk balapan. Dengan demikian, kesimpulan antropolog Frank Livingstone, bahwa karena garis keturunan melintasi batas ras, "tidak ada ras, hanya garis keturunan". 
     Dalam menanggapi Livingstone, Theodore Dobzhansky berpendapat bahwa ketika berbicara tentang ras, seseorang harus memperhatikan bagaimana istilah itu digunakan: "Saya setuju dengan Dr. Livingstone bahwa jika ras harus menjadi 'unit diskrit', maka tidak ada ras, dan jika 'ras' digunakan sebagai 'penjelasan' tentang variabilitas manusia, bukan sebaliknya, maka penjelasannya tidak valid. " Dia lebih lanjut berpendapat bahwa seseorang dapat menggunakan istilah perlombaan jika seseorang membedakan antara "perbedaan ras" dan "konsep ras".
     Yang pertama mengacu pada perbedaan frekuensi gen antara populasi; yang terakhir adalah "masalah penghakiman". Dia lebih lanjut mengamati bahwa bahkan ketika ada variasi klinal, "Perbedaan ras adalah fenomena biologis yang dapat dipastikan secara objektif ... tetapi tidak berarti bahwa populasi yang berbeda secara rasial harus diberi label ras (atau subspesifik)." Singkatnya, Livingstone dan Dobzhansky setuju bahwa ada perbedaan genetik di antara manusia; mereka juga setuju bahwa penggunaan konsep ras untuk mengklasifikasikan orang, dan bagaimana konsep ras digunakan, adalah masalah konvensi sosial. Mereka berbeda pada apakah konsep ras tetap konvensi sosial yang bermakna dan bermanfaat.
     Warna kulit (di atas) dan golongan darah B (di bawah) adalah sifat yang tidak sesuai karena distribusi geografisnya tidak sama. Pada tahun 1964, ahli biologi Paul Ehrlich dan Holm menunjukkan kasus-kasus di mana dua atau lebih clines didistribusikan secara berbeda - misalnya, melanin didistribusikan dalam pola yang menurun dari utara dan selatan garis khatulistiwa; frekuensi haplotipe untuk hemoglobin beta-S , di sisi lain, memancar keluar dari titik geografis tertentu di Afrika.  Seperti yang diamati oleh antropolog Leonard Lieberman dan Fatimah Linda Jackson, "Pola heterogenitas yang sumbang memalsukan setiap deskripsi populasi seolah-olah secara genotip atau bahkan homogen secara fenotipik".
    Pola-pola seperti yang terlihat dalam variasi fisik dan genetik manusia seperti yang dijelaskan di atas, telah menyebabkan konsekuensi bahwa jumlah dan lokasi geografis dari setiap ras yang dijelaskan sangat tergantung pada pentingnya dikaitkan dengan, dan kuantitas, sifat-sifat yang dipertimbangkan. Para ilmuwan menemukan mutasi penerangan kulit yang sebagian menyumbang penampilan kulit Cahaya pada manusia (orang yang bermigrasi keluar dari Afrika ke utara ke tempat yang sekarang disebut Eropa) yang mereka perkirakan terjadi 20.000 hingga 50.000 tahun yang lalu. Orang-orang Asia Timur berhutang kulit mereka yang relatif ringan terhadap mutasi yang berbeda. 
 Di sisi lain, semakin besar jumlah sifat (atau alel ) yang dipertimbangkan, semakin banyak subdivisi kemanusiaan yang terdeteksi, karena sifat dan frekuensi gen tidak selalu sesuai dengan lokasi geografis yang sama. Atau seperti yang dikatakan Ossorio & Duster (2005) :
     Para antropolog sejak dulu menemukan bahwa sifat fisik manusia bervariasi secara bertahap, dengan kelompok yang dekat secara geografis lebih mirip daripada kelompok yang terpisah secara geografis. Pola variasi ini, yang dikenal sebagai variasi clinal, juga diamati untuk banyak alel yang bervariasi dari satu kelompok manusia ke kelompok manusia lainnya. Pengamatan lain adalah bahwa sifat atau alel yang bervariasi dari satu kelompok ke kelompok lainnya tidak bervariasi pada tingkat yang sama. Pola ini disebut sebagai variasi yang tidak sesuai. 
     Karena variasi sifat fisik bersifat clinal dan tidak sesuai, para antropolog dari akhir abad 19 dan awal menemukan bahwa semakin banyak sifat dan semakin banyak kelompok manusia yang diukur, semakin sedikit perbedaan tersendiri yang mereka amati di antara ras dan semakin banyak kategori yang harus mereka buat untuk menciptakan. mengklasifikasikan manusia. Jumlah ras yang diamati meluas ke tahun 1930-an dan 1950-an, dan akhirnya para antropolog menyimpulkan bahwa tidak ada ras terpisah. Peneliti biomedis abad kedua puluh dan 21 telah menemukan fitur yang sama ketika mengevaluasi variasi manusia pada tingkat frekuensi alel dan alel. Alam belum menciptakan empat atau lima kelompok genetik manusia yang berbeda dan tidak saling bertetangga.

Populasi yang dibedakan secara genetik
    Cara lain untuk melihat perbedaan antar populasi adalah dengan mengukur perbedaan genetik daripada perbedaan fisik antar kelompok. Antropolog abad ke-20 pertengahan William C. Boyd mendefinisikan ras sebagai: "Sebuah populasi yang berbeda secara signifikan dari populasi lain dalam hal frekuensi satu atau lebih gen yang dimilikinya. Ini adalah masalah yang sewenang-wenang yang, dan berapa banyak, lokus gen yang kita pilih untuk dipertimbangkan sebagai 'rasi' 'yang signifikan. 
    Leonard Lieberman dan Rodney Kirk menunjukkan bahwa "kelemahan terpenting dari pernyataan ini adalah bahwa jika satu gen dapat membedakan ras maka jumlah ras sama banyaknya dengan jumlah pasangan manusia yang bereproduksi."Selain itu, antropolog Stephen Molnar telah menyarankan bahwa ketidaksesuaian cline menghasilkan multiplikasi ras yang menjadikan konsep itu sendiri tidak berguna.
  Proyek Genom Manusia menyatakan "Orang-orang yang telah hidup di wilayah geografis yang sama selama beberapa generasi mungkin memiliki beberapa alel yang sama, tetapi tidak ada alel yang ditemukan di semua anggota satu populasi dan tidak ada anggota yang lain."  Massimo Pigliucci dan Jonathan Kaplan berpendapat bahwa ras manusia memang ada, dan bahwa mereka sesuai dengan klasifikasi genetik ekotip , tetapi ras manusia yang sebenarnya tidak banyak berhubungan, jika sama sekali, dengan kategori ras rakyat.
     Sebaliknya, Walsh & Yun meninjau literatur pada 2011 dan melaporkan bahwa "Studi genetika menggunakan sangat sedikit lokus kromosom menemukan bahwa polimorfisme genetik membagi populasi manusia menjadi kelompok dengan akurasi hampir 100 persen dan mereka sesuai dengan kategori antropologis tradisional."
     Beberapa ahli biologi berpendapat bahwa kategori rasial berkorelasi dengan sifat biologis (misalnya fenotipe ), dan bahwa penanda genetik tertentu memiliki frekuensi yang bervariasi di antara populasi manusia, beberapa di antaranya sesuai dengan kurang lebih pengelompokan ras tradisional. Untuk alasan ini, tidak ada konsensus saat ini tentang apakah kategori ras dapat dianggap memiliki signifikansi untuk memahami variasi genetik manusia. 

Distribusi variasi genetik
     Distribusi varian genetik di dalam dan di antara populasi manusia tidak mungkin untuk dijelaskan secara ringkas karena sulitnya menentukan populasi, sifat variasi variasi, dan heterogenitas antar genom (Long dan Kittles 2003). Secara umum, bagaimanapun, rata-rata 85% variasi genetik statistik ada dalam populasi lokal, ~ 7% adalah antara populasi lokal di benua yang sama, dan ~ 8% variasi terjadi antara kelompok besar yang hidup di berbagai benua. 
     Teori asal-usul Afrika baru - baru ini untuk manusia akan memprediksi bahwa di Afrika ada jauh lebih banyak keanekaragaman daripada di tempat lain dan bahwa keragaman harus mengurangi semakin jauh dari Afrika populasi sampel. Oleh karena itu, angka rata-rata 85% menyesatkan: Long dan Kittles menemukan bahwa daripada 85% keanekaragaman genetik manusia yang ada di semua populasi manusia, sekitar 100% keanekaragaman manusia ada dalam satu populasi Afrika, sedangkan hanya sekitar 60% dari genetik manusia. keragaman ada di populasi yang paling beragam yang mereka analisis (Surui, populasi yang berasal dari Papua). Analisis statistik yang memperhitungkan perbedaan ini mengonfirmasi temuan sebelumnya bahwa, "Klasifikasi ras berdasarkan Barat tidak memiliki signifikansi taksonomi."

Analisis cluster
     Sebuah studi tahun 2002 tentang lokus genetik bialalik acak menemukan sedikit atau tidak ada bukti bahwa manusia dibagi menjadi kelompok biologis yang berbeda. 
Dalam makalahnya tahun 2003, " Keragaman Genetik Manusia: Kekeliruan Lewontin ", AWF Edwards berpendapat bahwa daripada menggunakan analisis variasi lokus-lokus untuk memperoleh taksonomi, dimungkinkan untuk membangun sistem klasifikasi manusia berdasarkan pola genetik yang khas, atau cluster disimpulkan dari data genetik multilokus . 
     Studi manusia berdasarkan geografis sejak itu telah menunjukkan bahwa kelompok genetik seperti itu dapat diturunkan dari analisis sejumlah besar lokus yang dapat menggabungkan individu yang disampel menjadi kelompok yang dianalogikan dengan kelompok ras benua tradisional. Joanna Mountain dan Neil Risch mengingatkan bahwa meskipun suatu klaster genetik suatu hari kelihatannya sesuai dengan variasi fenotipik antar kelompok, asumsi tersebut terlalu dini karena hubungan antara gen dan sifat kompleks masih kurang dipahami.
     Namun, Risch menyangkal keterbatasan tersebut membuat analisis tidak berguna: "Mungkin hanya menggunakan tahun kelahiran seseorang yang sebenarnya bukan cara yang sangat baik untuk mengukur usia. Apakah itu berarti kita harus membuangnya? ... Kategori apa pun yang Anda buat akan menjadi tidak sempurna, tetapi itu tidak menghalangi Anda untuk menggunakannya atau fakta bahwa ia memiliki utilitas. "
      Studi analisis kluster genetik manusia awal dilakukan dengan sampel yang diambil dari kelompok populasi leluhur yang hidup pada jarak geografis yang ekstrim satu sama lain. Diperkirakan bahwa jarak geografis yang begitu besar akan memaksimalkan variasi genetik antara kelompok-kelompok yang disampel dalam analisis, dan dengan demikian memaksimalkan kemungkinan menemukan pola-pola klaster yang unik untuk masing-masing kelompok. 
     Mengingat percepatan migrasi manusia secara historis baru-baru ini (dan juga, aliran gen manusia) pada skala global, penelitian lebih lanjut dilakukan untuk menilai sejauh mana analisis klaster genetik dapat membentuk pola kelompok yang diidentifikasi secara nenek moyang serta kelompok yang terpisah secara geografis. Salah satu penelitian tersebut mengamati populasi multietnis besar di Amerika Serikat, dan "hanya mendeteksi diferensiasi genetik sederhana antara berbagai lokasi geografis saat ini dalam setiap ras / kelompok etnis. Dengan demikian, nenek moyang geografis kuno, yang sangat berkorelasi dengan ras / etnis yang diidentifikasi sendiri. - Berbeda dengan tempat tinggal saat ini - adalah penentu utama struktur genetik pada populasi AS. " ( Tang et al. (2005) ).
     Witherspoon et al. (2007) berpendapat bahwa bahkan ketika individu dapat secara andal ditugaskan ke kelompok populasi tertentu, masih mungkin bagi dua individu yang dipilih secara acak dari populasi / kelompok yang berbeda untuk menjadi lebih mirip satu sama lain daripada anggota yang dipilih secara acak dari kelompok mereka sendiri. . 
      Mereka menemukan bahwa ribuan penanda genetik harus digunakan untuk menjawab pertanyaan, "Seberapa sering sepasang individu dari satu populasi secara genetik lebih berbeda daripada dua individu yang dipilih dari dua populasi yang berbeda?" menjadi "tidak pernah". Ini diasumsikan tiga kelompok populasi yang dipisahkan oleh rentang geografis yang besar (Eropa, Afrika dan Asia Timur). Seluruh populasi dunia jauh lebih kompleks dan mempelajari peningkatan jumlah kelompok akan membutuhkan peningkatan jumlah penanda untuk jawaban yang sama. Para penulis menyimpulkan bahwa "kehati-hatian harus digunakan ketika menggunakan keturunan geografis atau genetik untuk membuat kesimpulan tentang fenotipe individu."
      Witherspoon, dkk. menyimpulkan bahwa, "Fakta bahwa, dengan data genetik yang cukup, individu dapat secara tepat ditugaskan ke populasi asal mereka sesuai dengan pengamatan bahwa sebagian besar variasi genetik manusia ditemukan dalam populasi, bukan di antara mereka. Ini juga kompatibel dengan temuan kami bahwa , bahkan ketika populasi yang paling berbeda dipertimbangkan dan ratusan lokus digunakan, individu seringkali lebih mirip dengan anggota populasi lain daripada anggota populasi mereka sendiri. "
    Para antropolog seperti C. Loring Brace , para filsuf Jonathan Kaplan dan Rasmus Winther, dan ahli genetika Joseph Graves , berpendapat bahwa walaupun ada kemungkinan untuk menemukan variasi biologis dan genetik yang secara kasar sesuai dengan pengelompokan yang biasanya didefinisikan sebagai "ras benua", ini berlaku untuk hampir semua populasi yang berbeda secara geografis. Struktur cluster dari data genetik karena itu tergantung pada hipotesis awal peneliti dan populasi sampel. Ketika satu sampel kelompok benua, kelompok menjadi benua; jika seseorang memilih pola pengambilan sampel lain, pengelompokan akan berbeda. Weiss dan Fullerton telah mencatat bahwa jika seseorang mengambil sampel hanya Islandia, Maya dan Maoris, tiga kelompok berbeda akan terbentuk dan semua populasi lainnya dapat digambarkan sebagai secara klinis terdiri dari campuran bahan genetik Maori, Islandia dan Maya.
      Karena itu, Kaplan dan Winther berpendapat bahwa, terlihat dengan cara ini, baik Lewontin dan Edwards benar dalam argumen mereka. Mereka menyimpulkan bahwa sementara kelompok ras dicirikan oleh frekuensi alel yang berbeda, ini tidak berarti bahwa klasifikasi ras adalah taksonomi alami spesies manusia, karena beberapa pola genetik lainnya dapat ditemukan dalam populasi manusia yang memotong perbedaan ras. Selain itu, data genom menentukan apakah seseorang ingin melihat subdivisi (yaitu, splitter) atau kontinum (yaitu, lumpers) .
     Di bawah pandangan Kaplan dan Winther, pengelompokan ras adalah konstruksi sosial yang objektif (lihat Mills 1998 ) yang memiliki realitas biologis konvensional hanya sejauh kategori dipilih dan dibangun untuk alasan ilmiah pragmatis. Dalam karya sebelumnya, Winther telah mengidentifikasi "pembagian keanekaragaman" dan "analisis pengelompokan" sebagai dua metodologi terpisah, dengan pertanyaan, asumsi, dan protokol yang berbeda. Masing-masing juga terkait dengan konsekuensi ontologis yang bertentangan dengan metafisika ras.
     Filsuf Lisa Gannett berpendapat bahwa nenek moyang biogeografis , sebuah konsep yang dirancang oleh Mark Shriver dan Tony Frudakis , bukanlah ukuran obyektif dari aspek-aspek biologis ras seperti yang dikatakan Shriver dan Frudakis. Dia berpendapat bahwa itu sebenarnya hanya "kategori lokal yang dibentuk oleh konteks produksi AS, terutama tujuan forensik untuk dapat memprediksi ras atau etnis dari tersangka yang tidak diketahui berdasarkan DNA yang ditemukan di tempat kejadian."

Cline dan cluster dalam variasi genetik
     Studi terbaru tentang pengelompokan genetik manusia telah memasukkan perdebatan tentang bagaimana variasi genetik diorganisasikan, dengan kelompok dan kelompok sebagai kemungkinan urutan utama. Serre & Pääbo (2004) mengemukakan variasi genetik yang halus dan klinal dalam populasi leluhur bahkan di daerah yang sebelumnya dianggap homogen secara rasial, dengan kesenjangan yang tampak sebagai artefak teknik pengambilan sampel. Rosenberg et al. (2005) membantah ini dan menawarkan analisis Panel Keragaman Genetik Manusia yang menunjukkan bahwa ada sedikit diskontinuitas dalam variasi genetik halus untuk populasi leluhur di lokasi hambatan geografis seperti Sahara , Samudra, dan Himalaya .
   Meskipun demikian, Rosenberg et al. (2005) menyatakan bahwa temuan mereka "tidak boleh diambil sebagai bukti dukungan kami terhadap konsep ras biologis tertentu ... Perbedaan genetik di antara populasi manusia terutama berasal dari gradasi dalam frekuensi alel daripada dari genotipe 'diagnostik' yang khas." Menggunakan sampel dari 40 populasi yang tersebar secara merata di seluruh permukaan tanah Bumi, Xing & et. (2010 , p. 208) menemukan bahwa "keragaman genetik didistribusikan dalam pola yang lebih klinal ketika lebih banyak populasi perantara geografis secara sampel."
     Guido Barbujani telah menulis bahwa variasi genetik manusia umumnya didistribusikan secara terus menerus dalam gradien di sebagian besar Bumi, dan bahwa tidak ada bukti bahwa batas-batas genetik antara populasi manusia ada sebagaimana diperlukan untuk perlunya ras manusia ada. Seiring waktu, variasi genetik manusia telah membentuk struktur bersarang yang tidak konsisten dengan konsep ras yang telah berevolusi secara independen satu sama lain. 

Konstruksi sosial
     Ketika para antropolog dan ilmuwan evolusi lainnya telah bergeser dari bahasa ras ke istilah populasi untuk membicarakan perbedaan genetik, para sejarawan , ahli antropologi budaya , dan ilmuwan sosial lainnya mengkonsep ulang istilah "ras" sebagai kategori budaya atau konstruksi sosial , yaitu, cara di antara banyak cara yang mungkin di mana masyarakat memilih untuk membagi anggotanya ke dalam kategori.
     Banyak ilmuwan sosial telah mengganti kata ras dengan kata " etnis " untuk merujuk pada kelompok yang mengidentifikasi diri berdasarkan kepercayaan mengenai budaya bersama, keturunan dan sejarah.  Di samping masalah empiris dan konseptual dengan "ras", setelah Perang Dunia Kedua , para ilmuwan evolusi dan sosial sangat menyadari bagaimana kepercayaan tentang ras telah digunakan untuk membenarkan diskriminasi, apartheid, perbudakan, dan genosida. Pertanyaan ini mendapatkan momentum pada 1960-an selama gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat dan munculnya banyak gerakan anti-kolonial di seluruh dunia. Mereka kemudian percaya bahwa ras itu sendiri adalah konstruksi sosial , sebuah konsep yang diyakini sesuai dengan realitas objektif tetapi diyakini karena fungsi sosialnya.
    Craig Venter dan Francis Collins dari National Institute of Health bersama-sama membuat pengumuman tentang pemetaan genom manusia pada tahun 2000. Setelah memeriksa data dari pemetaan genom, Venter menyadari bahwa meskipun variasi genetik dalam spesies manusia ada pada urutan. 1–3% (bukan yang diasumsikan 1% sebelumnya), jenis variasi tidak mendukung gagasan ras yang ditentukan secara genetik. Venter berkata, "Ras adalah konsep sosial. Itu bukan konsep ilmiah. Tidak ada garis terang (yang akan menonjol), jika kita dapat membandingkan semua genom sekuensing semua orang di planet ini." "Ketika kami mencoba menerapkan sains untuk mencoba memilah perbedaan sosial ini, semuanya berantakan." 
    Stephan Palmié menegaskan bahwa ras "bukanlah sesuatu melainkan hubungan sosial";  atau, dalam kata-kata Katya Gibel Mevorach , "sebuah metonim", "sebuah penemuan manusia yang kriteria untuk diferensiasinya tidak universal atau tetap tetapi selalu digunakan untuk mengelola perbedaan." Dengan demikian, penggunaan istilah "ras" itu sendiri harus dianalisis. Selain itu, mereka berpendapat bahwa biologi tidak akan menjelaskan mengapa atau bagaimana orang menggunakan ide ras: Sejarah dan hubungan sosial akan.
    Imani Perry berpendapat bahwa ras "dihasilkan oleh pengaturan sosial dan pengambilan keputusan politik."  Perry menjelaskan ras lebih dalam menyatakan, "ras adalah sesuatu yang terjadi, bukan sesuatu yang terjadi. Itu dinamis, tetapi tidak memiliki kebenaran obyektif."
     Beberapa sarjana telah menentang gagasan bahwa ras terutama merupakan konstruksi sosial dengan menyatakan bahwa ras memiliki dasar biologis. Salah satu peneliti, Neil Risch , mencatat: "kami melihat korelasi antara struktur genetik [berdasarkan penanda mikrosatelit] versus deskripsi diri, kami menemukan 99,9% kesesuaian di antara keduanya. Kami sebenarnya memiliki tingkat ketidaksesuaian yang lebih tinggi antara seks yang dilaporkan sendiri dan penanda pada kromosom X! Jadi, Anda dapat berargumen bahwa seks juga merupakan kategori yang bermasalah. Dan ada perbedaan antara jenis kelamin dan jenis kelamin; identifikasi diri mungkin tidak berkorelasi dengan biologi secara sempurna. Dan ada seksisme. " 

Ras Brasil
     Dibandingkan dengan Amerika Serikat pada abad ke-19, Brasil pada abad ke-20 dicirikan oleh tidak adanya kelompok ras yang didefinisikan secara tajam. Menurut antropolog Marvin Harris , pola ini mencerminkan sejarah dan hubungan sosial yang berbeda.
      Pada dasarnya, ras di Brasil "dibiologologis", tetapi dengan cara yang mengakui perbedaan antara keturunan (yang menentukan genotipe ) dan perbedaan fenotipik . Di sana, identitas rasial tidak diatur oleh aturan keturunan yang kaku, seperti aturan satu-jatuhkan , seperti di Amerika Serikat. Seorang anak Brasil tidak pernah secara otomatis diidentifikasi dengan tipe rasial dari satu atau kedua orang tua, juga tidak ada hanya kategori yang sangat terbatas untuk dipilih,  sejauh saudara kandung penuh dapat berhubungan dengan kelompok ras yang berbeda. 
     Lebih dari selusin kategori ras akan diakui sesuai dengan semua kemungkinan kombinasi warna rambut, tekstur rambut, warna mata, dan warna kulit. Jenis-jenis ini menjadi satu sama lain seperti warna spektrum, dan tidak satu kategori berdiri secara signifikan terisolasi dari yang lain. Artinya, ras merujuk pada penampilan, bukan keturunan, dan penampilan adalah indikasi keturunan yang buruk, karena hanya beberapa gen yang bertanggung jawab atas warna dan sifat kulit seseorang: seseorang yang dianggap berkulit putih mungkin memiliki lebih banyak keturunan Afrika daripada seseorang yang dianggap hitam, dan kebalikannya bisa juga berlaku tentang keturunan Eropa.
    Kompleksitas klasifikasi rasial di Brasil mencerminkan tingkat miscegenasi dalam masyarakat Brasil , sebuah masyarakat yang tetap sangat, tetapi tidak sepenuhnya, bertingkat di sepanjang garis warna. Faktor-faktor sosial ekonomi ini juga signifikan terhadap batas-batas garis ras, karena sebagian kecil orang pardos , atau orang berkulit coklat, cenderung mulai menyatakan diri mereka putih atau hitam jika secara sosial naik,  dan dipandang relatif "lebih putih" seperti yang dipersepsikan. status sosial meningkat (seperti halnya di wilayah lain di Amerika Latin). 
     Selain fluiditas kategori rasial, "biologifikasi" ras di Brasil yang disebutkan di atas akan sangat cocok dengan konsep ras kontemporer di Amerika Serikat, meskipun, jika orang Brasil seharusnya memilih ras mereka sebagai satu di antara, Asia dan Adat terpisah, tiga IBGE's kategori sensus. Sementara orang-orang Amerika yang berasimilasi dan orang-orang dengan jumlah keturunan leluhur Amerindian yang sangat tinggi biasanya dikelompokkan sebagai caboclos , sebuah subkelompok pardos yang secara kasar diterjemahkan sebagai mestizo dan dusun , bagi mereka yang memiliki jumlah keturunan Amerindian yang lebih rendah, kontribusi genetik Eropa yang lebih tinggi diharapkan dikelompokkan sebagai sebuah pardo
    Dalam beberapa tes genetik, orang dengan kurang dari 60-65% keturunan Eropa dan 5-10% keturunan Amerindian biasanya mengelompok dengan orang Afro-Brasil (seperti yang dilaporkan oleh masing-masing individu), atau 6,9% dari populasi, dan orang-orang dengan sekitar 45 % atau lebih dari kontribusi Subsaharan paling sering melakukannya (rata-rata, DNA Afro-Brasil dilaporkan sekitar 50% Subsaharan Afrika, 37% Eropa dan 13% Amerindian)
    Jika laporan yang lebih konsisten dengan kelompok genetik dalam gradasi miscegenation dipertimbangkan (mis. Itu tidak akan mengelompokkan orang dengan tingkat keturunan Afrika dan non-Afrika yang seimbang dalam kelompok hitam alih-alih yang multiras, tidak seperti di tempat lain dalam bahasa Latin). 
   Amerika di mana orang-orang keturunan Afrika dalam jumlah tinggi cenderung mengklasifikasikan diri mereka sendiri sebagai campuran), lebih banyak orang akan melaporkan diri mereka sebagai kulit putih dan pardo di Brasil (masing-masing 47,7% dan 42,4% dari populasi pada tahun 2010), karena dengan penelitian populasinya adalah diyakini memiliki antara 65 dan 80% dari keturunan Eropa autosomal, rata-rata (juga> 35% dari mt-DNA Eropa dan> 95% dari Y-DNA Eropa).
     Dari dekade terakhir Kekaisaran hingga 1950-an, proporsi populasi kulit putih meningkat secara signifikan sementara Brasil menyambut 5,5 juta imigran antara 1821 dan 1932, tidak jauh di belakang tetangganya Argentina dengan 6,4 juta,  dan menerima lebih banyak imigran Eropa di sejarah kolonialnya daripada Amerika Serikat. Antara 1500 dan 1760, 700.000 orang Eropa bermukim di Brasil, sementara 530.000 orang Eropa bermukim di Amerika Serikat untuk waktu yang sama. [138] Dengan demikian, konstruksi historis ras dalam masyarakat Brasil terutama berurusan dengan gradasi antara orang-orang dari mayoritas keturunan Eropa dan kelompok-kelompok minoritas kecil dengan jumlah yang lebih rendah daripadanya dalam beberapa waktu terakhir.

Uni Eropa
Menurut Dewan Eropa : 
Uni Eropa menolak teori yang berupaya menentukan keberadaan ras manusia yang terpisah.
    Uni Eropa menggunakan istilah asal rasial dan asal etnis secara sinonim dalam dokumennya dan menurutnya "penggunaan istilah 'asal rasial' dalam arahan ini tidak menyiratkan penerimaan teori semacam itu". Haney López memperingatkan bahwa menggunakan "ras" sebagai kategori dalam hukum cenderung melegitimasi keberadaannya dalam imajinasi populer.
    Dalam konteks geografis yang beragam di Eropa , etnis dan asal-usul etnis bisa dibilang lebih beresonansi dan kurang terbebani oleh beban ideologis yang terkait dengan "ras". Dalam konteks Eropa, resonansi historis "ras" menggarisbawahi sifat problematisnya. Di beberapa negara, itu sangat terkait dengan hukum yang diumumkan oleh pemerintah Nazi dan Fasis di Eropa selama tahun 1930-an dan 1940-an. Memang, pada tahun 1996, Parlemen Eropa mengadopsi resolusi yang menyatakan bahwa "istilah itu karenanya harus dihindari dalam semua teks resmi".
    Konsep asal rasial bergantung pada gagasan bahwa manusia dapat dipisahkan menjadi "ras" yang berbeda secara biologis, sebuah ide yang umumnya ditolak oleh komunitas ilmiah. Karena semua manusia termasuk spesies yang sama, ECRI (Komisi Eropa Menentang Rasisme dan Intoleransi) menolak teori-teori yang didasarkan pada adanya "ras" yang berbeda. Namun, dalam rekomendasinya ECRI menggunakan istilah ini untuk memastikan bahwa orang-orang yang secara umum dan keliru dianggap milik "ras lain" tidak dikecualikan dari perlindungan yang disediakan oleh undang-undang. Hukum mengklaim untuk menolak keberadaan "ras", namun menghukum situasi di mana seseorang diperlakukan dengan kurang menguntungkan atas dasar ini. 

Perancis
     Sejak akhir Perang Dunia Kedua, Prancis telah menjadi negara dengan beragam etnis. Saat ini, sekitar lima persen dari populasi Prancis adalah non-Eropa dan non-kulit putih. Ini tidak mendekati jumlah warga non-kulit putih di Amerika Serikat (kira-kira 28-37%, tergantung pada bagaimana Latin diklasifikasikan (lihat Demografi Amerika Serikat ). 
 Namun demikian, jumlah itu setidaknya berjumlah tiga juta orang, dan memiliki memaksa isu-isu keragaman etnis ke dalam agenda kebijakan Perancis.Prancis telah mengembangkan pendekatan untuk menangani masalah etnis yang sangat kontras dengan banyak negara maju, negara-negara industri. Tidak seperti Amerika Serikat, Inggris, atau bahkan Belanda, Prancis mempertahankan "kebijakan buta warna " model kebijakan publik.
       Ini berarti bahwa ia menargetkan hampir tidak ada kebijakan langsung pada kelompok ras atau etnis. Sebaliknya, ia menggunakan kriteria geografis atau kelas untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan sosial. repertoar kebijakan rasis sejak awal tahun 1970. Sampai saat ini, kebijakan Prancis terutama berfokus pada isu-isu pidato kebencian - melangkah lebih jauh dari rekan-rekan Amerika mereka - dan relatif kurang pada isu diskriminasi dalam pekerjaan, perumahan, dan dalam penyediaan barang dan jasa.

Amerika Serikat
     Miscegenation § Admixture di Amerika Serikat , dan demografi rasial dan etnis bersejarah Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, ada ketidaksepakatan tentang sifat ras dalam ilmu biologi, sedangkan pandangan konstruksionis sosial dominan dalam ilmu sosial; dari waktu ke waktu, pandangan biologis tentang ras menjadi lebih kontroversial di semua disiplin ilmu, dengan perbedaan yang jelas di sepanjang garis generasi, budaya, dan ras.
      Para imigran ke Amerika datang dari setiap wilayah Eropa, Afrika, dan Asia. Mereka bercampur di antara mereka sendiri dan dengan penduduk asli benua itu . Di Amerika Serikat sebagian besar orang yang mengidentifikasi diri sebagai Afrika-Amerika memiliki beberapa leluhur Eropa , sementara banyak orang yang mengidentifikasi diri sebagai Eropa-Amerika memiliki beberapa leluhur Afrika atau Amerindian.
    Sejak sejarah awal Amerika Serikat, Amerindian, Afrika-Amerika, dan Eropa-Amerika telah diklasifikasikan sebagai ras yang berbeda. Upaya untuk melacak percampuran antar kelompok menyebabkan berkembangnya kategori, seperti mulatto dan octoroon . Kriteria keanggotaan dalam ras-ras ini berbeda pada akhir abad ke-19. Selama Rekonstruksi , semakin banyak orang Amerika mulai menganggap siapa pun dengan " satu tetes " "Darah Hitam" yang dikenal sebagai Hitam, terlepas dari penampilan. Pada awal abad ke-20, gagasan ini dibuat menjadi undang-undang di banyak negara.
      Orang Amerindian terus didefinisikan oleh persentase tertentu dari "darah India" (disebut kuantum darah ). Untuk menjadi Putih, seseorang harus merasakan "keturunan murni" Putih. Aturan one-drop atau aturan hypodescent mengacu pada konvensi mendefinisikan seseorang sebagai ras kulit hitam jika ia memiliki keturunan Afrika yang dikenal. Aturan ini berarti bahwa mereka yang ras campuran tetapi dengan beberapa keturunan Afrika yang dapat dilihat didefinisikan sebagai kulit hitam. Aturan one-drop khusus untuk tidak hanya mereka yang memiliki keturunan Afrika tetapi juga untuk Amerika Serikat, menjadikannya pengalaman Afrika-Amerika.
     Sensus sepuluh tahunan yang dilakukan sejak 1790 di Amerika Serikat menciptakan insentif untuk menetapkan kategori ras dan memasukkan orang ke dalam kategori ini.
     Istilah " hispanik " sebagai etnonim muncul pada abad ke-20 dengan munculnya migrasi buruh dari negara -negara berbahasa Spanyol di Amerika Latin ke Amerika Serikat. Saat ini, kata "Latin" sering digunakan sebagai sinonim untuk "Hispanik". Definisi dari kedua istilah ini adalah khusus untuk non-ras, dan termasuk orang-orang yang menganggap dirinya sebagai ras yang berbeda (Hitam, Putih, Amerindian, Asia, dan kelompok campuran).
     Namun, ada kesalahpahaman umum di AS bahwa Hispanik / Latin adalah ras atau kadang-kadang bahkan asal usul nasional seperti Meksiko, Kuba, Kolombia, Salvador, dll. Adalah ras. Berbeda dengan "Latin" atau "Hispanik", " Anglo " mengacu pada orang Amerika berkulit putih non-Hispanik atau orang Amerika Eropa non-Hispanik, yang sebagian besar berbicara bahasa Inggris tetapi tidak harus keturunan Inggris .

Tampilan lintas disiplin dari waktu ke waktu
     Salah satu hasil dari perdebatan tentang makna dan validitas konsep ras adalah bahwa literatur saat ini di berbagai disiplin ilmu mengenai variasi manusia tidak memiliki konsensus , meskipun dalam beberapa bidang, seperti beberapa cabang antropologi, ada konsensus yang kuat. Beberapa penelitian menggunakan kata ras dalam pengertian taksonomi esensialis awal. Banyak orang lain masih menggunakan istilah ras, tetapi menggunakannya untuk berarti populasi, clade , atau haplogroup . Yang lain menghindari konsep ras sama sekali, dan menggunakan konsep populasi sebagai unit analisis yang tidak terlalu bermasalah.
    Eduardo Bonilla-Silva , profesor Sosiologi di Universitas Duke, berkomentar,  "Saya berpendapat bahwa rasisme adalah, lebih dari apa pun, masalah kekuatan kelompok; ini tentang kelompok ras dominan (kulit putih) yang berusaha mempertahankan keunggulan sistemiknya. dan minoritas yang berjuang untuk menumbangkan status rasial ras. "Jenis-jenis praktik yang terjadi di bawah rasisme buta warna yang baru ini halus, dilembagakan, dan konon bukan rasial. Rasisme buta warna tumbuh subur pada gagasan bahwa ras tidak lagi menjadi masalah di Amerika Serikat.
   Ada kontradiksi antara dugaan buta warna sebagian besar orang kulit putih dan kegigihan sistem ketimpangan berkode warna.  Di Polandia , konsep ras ditolak oleh 25 persen antropolog pada tahun 2001, meskipun: "Berbeda dengan antropolog AS, antropolog Polandia cenderung menganggap ras sebagai istilah tanpa nilai taksonomi, sering sebagai pengganti populasi."

ANTROPOLOGI
    Konsep klasifikasi ras tipologis dalam antropologi fisik kehilangan kredibilitas sekitar tahun 1960-an dan sekarang dianggap tidak dapat dipertahankan. 
    Wagner et al. (2017) mensurvei 3.286 pandangan antropolog Amerika tentang ras dan genetika, termasuk budaya dan biologi serta ahli biologi. Mereka menemukan konsensus di antara mereka bahwa ras biologis tidak ada pada manusia, tetapi ras itu memang ada sejauh pengalaman sosial anggota ras yang berbeda dapat memiliki efek signifikan pada kesehatan.
   Wang, Štrkalj et al. (2003) meneliti penggunaan ras sebagai konsep biologis dalam makalah penelitian yang diterbitkan di jurnal antropologi biologis China saja, Acta Anthropologica Sinica . Studi ini menunjukkan bahwa konsep ras banyak digunakan di kalangan antropolog Tiongkok.
  Dalam makalah tinjauan 2007, Štrkalj menyarankan bahwa kontras yang tajam dari pendekatan rasial antara Amerika Serikat dan Cina adalah karena fakta bahwa ras adalah faktor kohesi sosial di antara orang-orang yang beragam etnis di Cina, sedangkan "ras" adalah masalah yang sangat sensitif di Amerika dan pendekatan rasial dianggap merusak kohesi sosial - dengan hasil bahwa dalam konteks sosial-politik akademisi AS para ilmuwan didorong untuk tidak menggunakan kategori ras, sedangkan di Cina mereka didorong untuk gunakan itu. 
    Lieberman et al. dalam sebuah studi tahun 2004 meneliti penerimaan ras sebagai konsep di antara para antropolog di Amerika Serikat, Kanada, wilayah berbahasa Spanyol, Eropa, Rusia dan Cina. Penolakan ras berkisar dari tinggi ke rendah, dengan tingkat penolakan tertinggi di Amerika Serikat dan Kanada, tingkat penolakan moderat di Eropa, dan tingkat penolakan terendah di Rusia dan Cina. Metode yang digunakan dalam studi yang dilaporkan termasuk kuesioner dan analisis konten.
     Kaszycka et al. (2009) pada tahun 2002–2003 mensurvei pendapat antropolog Eropa terhadap konsep ras biologis. Tiga faktor, negara pendidikan akademik, disiplin, dan usia, ditemukan signifikan dalam membedakan jawaban. Mereka yang dididik di Eropa Barat, antropolog fisik, dan orang paruh baya menolak ras lebih sering daripada yang dididik di Eropa Timur, orang-orang di cabang ilmu pengetahuan lain, dan orang-orang dari generasi yang lebih muda dan lebih tua. "Survei menunjukkan bahwa pandangan tentang ras secara sosiopolitik (ideologis) dipengaruhi dan sangat tergantung pada pendidikan. " 

Amerika Serikat
     Sejak paruh kedua abad ke-20, antropologi fisik di Amerika Serikat telah beralih dari pemahaman tipologis tentang keanekaragaman hayati manusia ke arah perspektif genomik dan berbasis populasi. Para antropolog cenderung memahami ras sebagai klasifikasi sosial manusia berdasarkan fenotipe dan leluhur serta faktor budaya, karena konsep ini dipahami dalam ilmu sosial.
     Sejak 1932, semakin banyak buku teks perguruan tinggi yang memperkenalkan antropologi fisik telah menolak ras sebagai konsep yang valid: dari 1932 hingga 1976, hanya tujuh dari tiga puluh dua ras yang ditolak; dari 1975 hingga 1984, tiga belas dari tiga puluh tiga ras ditolak; dari 1985 hingga 1993, tiga belas dari sembilan belas ras ditolak. Menurut satu entri jurnal akademik, di mana 78 persen dari artikel dalam Journal of Physical Anthropology 1931 menggunakan istilah-istilah ini atau hampir sinonim yang mencerminkan paradigma bio-ras, hanya 36 persen melakukannya pada tahun 1965, dan hanya 28 persen melakukannya pada tahun 1996.
   "Pernyataan tentang 'Ras'" (1998) yang disusun oleh komite antropolog terpilih dan dikeluarkan oleh dewan eksekutif American Anthropological Association sebagai pernyataan yang mereka "percaya  pada umumnya mewakili pemikiran kontemporer dan posisi ilmiah dari suatu mayoritas antropolog ", menyatakan: 
     Di Amerika Serikat baik cendekiawan dan masyarakat umum telah dikondisikan untuk melihat ras manusia sebagai divisi alami dan terpisah dalam spesies manusia berdasarkan perbedaan fisik yang terlihat. Akan tetapi, dengan perluasan luas pengetahuan ilmiah pada abad ini, menjadi jelas bahwa populasi manusia bukanlah kelompok yang jelas, berbatas tegas, dan berbeda secara biologis. Bukti dari analisis genetika (misalnya, DNA) menunjukkan bahwa sebagian besar variasi fisik, sekitar 94%, terletak di dalam apa yang disebut kelompok ras.
     Pengelompokan "ras" geografis konvensional berbeda satu sama lain hanya sekitar 6% dari gen mereka. Ini berarti bahwa ada variasi yang lebih besar dalam kelompok "rasial" daripada di antara mereka. Dalam populasi tetangga ada banyak gen yang tumpang tindih dan ekspresi fenotipik (fisik) mereka. Sepanjang sejarah setiap kali kelompok yang berbeda melakukan kontak, mereka kawin. Berbagi materi genetik yang berkelanjutan telah mempertahankan semua manusia sebagai satu spesies.
     Dengan perluasan luas pengetahuan ilmiah di abad ini, ... telah menjadi jelas bahwa populasi manusia bukanlah kelompok yang jelas, berbatas tegas, berbeda secara biologis. Mengingat apa yang kita ketahui tentang kapasitas manusia normal untuk mencapai dan berfungsi dalam budaya apa pun, kami menyimpulkan bahwa kesenjangan saat ini antara apa yang disebut kelompok "rasial" bukanlah konsekuensi dari warisan biologis mereka tetapi produk dari sejarah dan keadaan sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik kontemporer.
     Sebuah survei , yang dilakukan pada tahun 1985 ( Lieberman et al. 1992 ), bertanya kepada 1.200 ilmuwan Amerika berapa banyak yang tidak setuju dengan proposisi berikut: "Ada ras biologis pada spesies Homo sapiens ." Tanggapan untuk antropolog:
    Angka untuk antropolog fisik di departemen pemberian PhD sedikit lebih tinggi, naik dari 41% menjadi 42%, dengan 50% setuju. Penelitian Lieberman juga menunjukkan bahwa lebih banyak wanita menolak konsep ras daripada pria.  Survei ini, bagaimanapun, tidak merinci definisi ras tertentu (meskipun ia dengan jelas menentukan ras biologis di dalam spesies Homo sapiens ); sulit untuk mengatakan apakah mereka yang mendukung pernyataan memikirkan ras dalam hal taksonomi atau populasi.
   Survei yang sama, diambil pada tahun 1999,  menunjukkan hasil perubahan berikut untuk antropolog: antropolog fisik 69%, antropolog budaya 80%
Namun, garis penelitian yang dilakukan oleh Cartmill (1998) tampaknya membatasi ruang lingkup temuan Lieberman bahwa ada "tingkat perubahan yang signifikan dalam status konsep ras". Goran Štrkalj berpendapat bahwa ini mungkin karena Lieberman dan kolaborator telah melihat semua anggota American Anthropological Association terlepas dari bidang minat penelitian mereka, sementara Cartmill telah melihat secara khusus pada antropolog biologi yang tertarik pada variasi manusia.
    Menurut edisi 2000 buku teks antropologi fisik populer, antropolog forensik sangat mendukung gagasan tentang realitas biologis dasar ras manusia.  Antropolog fisik forensik dan profesor George W. Gill telah mengatakan bahwa gagasan bahwa ras hanya sedalam kulit "sama sekali tidak benar, seperti yang akan ditegaskan oleh antropolog forensik berpengalaman" dan "Banyak fitur morfologis cenderung mengikuti batas-batas geografis yang sering bertepatan dengan zona iklim.
      Ini tidak mengherankan karena kekuatan selektif dari iklim mungkin adalah kekuatan utama dari alam yang telah membentuk ras manusia dengan tidak hanya pada warna kulit dan bentuk rambut tetapi juga struktur tulang yang mendasari hidung, tulang pipi, dll. ( Misalnya, hidung yang lebih menonjol melembabkan udara dengan lebih baik.) "Meskipun ia dapat melihat argumen yang bagus untuk kedua belah pihak, penolakan lengkap terhadap bukti yang berlawanan" tampaknya sebagian besar berasal dari motivasi sosial-politik dan bukan sains sama sekali ". 
    Dia juga menyatakan bahwa banyak antropolog biologi melihat ras sebagai nyata namun "tidak ada buku teks pengantar antropologi fisik yang bahkan menyajikan perspektif itu sebagai suatu kemungkinan. Dalam kasus yang mencolok seperti ini, kita tidak berurusan dengan ilmu pengetahuan tetapi dengan sensor yang terang-terangan, bermotivasi politis. ".
    Dalam tanggapan parsial terhadap pernyataan Gill, Profesor Antropologi Biologis C. Loring Brace berpendapat bahwa alasan orang awam dan antropolog biologis dapat menentukan nenek moyang geografis seseorang dapat dijelaskan oleh fakta bahwa karakteristik biologis didistribusikan secara klinis di seluruh planet, dan itu tidak tidak diterjemahkan ke dalam konsep ras. Dia menyatakan:
     Anda mungkin bertanya, mengapa kita tidak dapat menyebut pola-pola regional itu "ras"? Sebenarnya, kita bisa dan melakukannya, tetapi itu tidak membuatnya menjadi entitas biologis yang koheren. "Ras" yang didefinisikan sedemikian rupa adalah produk dari persepsi kita. ... Kami menyadari bahwa dalam perjalanan kami yang paling ekstrem - Moskow ke Nairobi, mungkin - ada perubahan besar namun bertahap dalam warna kulit dari apa yang secara halus kita sebut putih menjadi hitam, dan bahwa ini terkait dengan perbedaan intensitas intensitas secara latitudinal. dari komponen ultraviolet dari sinar matahari.
     Namun, yang tidak kita lihat adalah segudang sifat lain yang didistribusikan secara tidak berhubungan dengan intensitas radiasi ultraviolet. Dalam hal warna kulit, semua populasi utara Dunia Lama lebih terang dari penduduk jangka panjang di dekat khatulistiwa. Meskipun orang Eropa dan Cina jelas berbeda, dalam warna kulit mereka lebih dekat satu sama lain daripada orang Afrika khatulistiwa. Tetapi jika kita menguji distribusi sistem golongan darah ABO yang dikenal luas, maka orang Eropa dan Afrika lebih dekat satu sama lain daripada orang Cina. 
     "Ras" kadang-kadang masih digunakan dalam antropologi forensik (ketika menganalisis sisa-sisa kerangka), penelitian biomedis , dan kedokteran berbasis ras .  Brace telah mengkritik ini, praktik antropolog forensik karena menggunakan konsep "ras" kontroversial dari konvensi ketika mereka sebenarnya harus berbicara tentang nenek moyang regional. Dia berpendapat bahwa sementara antropolog forensik dapat menentukan bahwa sisa kerangka berasal dari seseorang dengan leluhur di wilayah spesifik Afrika, mengkategorikan bahwa kerangka sebagai "hitam" adalah kategori yang dikonstruksi secara sosial yang hanya bermakna dalam konteks khusus Amerika Serikat. , dan yang tidak sah secara ilmiah.
      Pada 2007, Ann Morning mewawancarai lebih dari 40 ahli biologi dan antropolog Amerika dan menemukan perbedaan pendapat yang signifikan tentang sifat ras, dengan tidak ada sudut pandang yang memegang mayoritas di antara kedua kelompok. Morning juga berpendapat bahwa posisi ketiga, "antiessentialism", yang menyatakan bahwa ras bukanlah konsep yang berguna bagi ahli biologi, harus dimasukkan ke dalam perdebatan ini selain "constructionism" dan "essentialism". 

Biologi, anatomi, dan kedokteran
    Dalam survei 1985 yang sama ( Lieberman et al. 1992 ), 16% dari ahli biologi yang disurvei dan 36% dari psikolog perkembangan yang disurvei tidak setuju dengan proposisi: "Ada ras biologis pada spesies Homo sapiens ."
    Para penulis penelitian ini juga memeriksa 77 buku teks perguruan tinggi dalam biologi dan 69 dalam antropologi fisik yang diterbitkan antara 1932 dan 1989. Teks antropologi fisik berpendapat bahwa ras biologis ada sampai tahun 1970-an, ketika mereka mulai berpendapat bahwa ras tidak ada. Sebaliknya, buku pelajaran biologi tidak mengalami pembalikan seperti itu tetapi banyak yang malah membatalkan diskusi mereka tentang ras.
     Para penulis mengaitkan hal ini dengan ahli biologi yang berusaha menghindari mendiskusikan implikasi politik dari klasifikasi ras, alih-alih mendiskusikannya, dan dengan diskusi yang sedang berlangsung dalam biologi tentang validitas konsep "subspesies". Para penulis juga mencatat bahwa beberapa buku teks yang digunakan secara luas dalam biologi seperti karya Douglas J. Futuyma tahun 1986 "Biologi Evolusi" telah meninggalkan konsep ras, "Konsep ras, menutupi kemiripan genetik yang luar biasa dari semua bangsa dan pola variasi mosaik. yang tidak sesuai dengan divisi rasial, tidak hanya disfungsional secara sosial tetapi juga secara biologis tidak dapat dipertahankan (hal. 5 18–5 19). "( Lieberman et al. 1992 , hlm. 316-17).
     Pemeriksaan tahun 1994 dari 32 buku pelajaran olahraga / olahraga Inggris menemukan bahwa 7 (21,9%) menyatakan bahwa ada perbedaan biofisik karena ras yang mungkin menjelaskan perbedaan dalam kinerja olahraga, 24 (75%) tidak menyebutkan atau menyangkal konsep, dan 1 (3,12%) menyatakan hati-hati dengan ide tersebut.
    Pada Februari 2001, editor Archives of Pediatrics and Adolescent Medicine meminta "penulis untuk tidak menggunakan ras dan etnis ketika tidak ada alasan biologis, ilmiah, atau sosiologis untuk melakukannya." Para editor juga menyatakan bahwa "analisis berdasarkan ras dan etnis telah menjadi refleks analitis spontan."  Nature Genetics sekarang meminta penulis untuk "menjelaskan mengapa mereka memanfaatkan kelompok etnis atau populasi tertentu, dan bagaimana klasifikasi itu dicapai."

     Morning (2008) melihat buku pelajaran biologi sekolah menengah selama periode 1952-2002 dan pada awalnya menemukan pola yang sama dengan hanya 35% yang secara langsung mendiskusikan ras pada periode 1983-92 dari awalnya 92% melakukannya. Namun, ini sedikit meningkat setelah ini menjadi 43%. Diskusi ras yang lebih tidak langsung dan singkat dalam konteks gangguan medis telah meningkat dari tidak ada menjadi 93% dari buku teks. Secara umum, materi tentang ras telah berpindah dari sifat permukaan ke genetika dan sejarah evolusi. Studi ini berpendapat bahwa pesan mendasar buku teks tentang keberadaan ras telah sedikit berubah.
     Menyurvei pandangan tentang ras dalam komunitas ilmiah pada 2008, Morning mengatakan bahwa mereka sering terpecah menurut garis budaya dan demografi dan bahwa, sejak survei Lieberman, ahli biologi gagal mencapai konsensus yang jelas, menyatakan bahwa "Yang terbaik, dapat disimpulkan bahwa ahli biologi dan para antropolog sekarang tampak terbagi rata dalam keyakinan mereka tentang sifat ras. " 
     Gissis (2008) meneliti beberapa jurnal Amerika dan Inggris yang penting dalam genetika, epidemiologi, dan obat-obatan untuk konten mereka selama periode 1946-2003. Dia menulis bahwa "Berdasarkan temuan saya, saya berpendapat bahwa kategori ras hanya tampaknya menghilang dari wacana ilmiah setelah Perang Dunia II dan telah memiliki penggunaan yang terus menerus berfluktuasi selama rentang waktu dari 1946 hingga 2003, dan bahkan menjadi lebih menonjol dari awal 1970 - an pada ".
    33 peneliti layanan kesehatan dari berbagai wilayah geografis diwawancarai dalam sebuah penelitian tahun 2008. Para peneliti mengakui masalah dengan variabel ras dan etnis tetapi mayoritas masih percaya variabel ini diperlukan dan bermanfaat. 
     Pemeriksaan tahun 2010 atas 18 buku teks anatomi bahasa Inggris yang digunakan secara luas menemukan bahwa mereka semua mewakili variasi biologis manusia dengan cara yang dangkal dan ketinggalan jaman, banyak dari mereka menggunakan konsep ras dengan cara yang saat ini ada dalam antropologi 1950-an. Para penulis merekomendasikan bahwa pendidikan anatomi harus menggambarkan variasi anatomi manusia secara lebih rinci dan bergantung pada penelitian baru yang menunjukkan kekurangan tipologi rasial sederhana.

Hukum
Black's Law Dictionary mendefinisikan ras sebagai "[a] n stok etnik; sebuah divisi besar umat manusia yang memiliki kesamaan ciri fisik tertentu yang khas yang membentuk penampilan kelas yang komprehensif."

Sosiologi
    Lester Frank Ward (1841-1913), yang dianggap sebagai salah satu pendiri sosiologi Amerika, menolak anggapan bahwa ada perbedaan mendasar yang membedakan satu ras dari yang lain, meskipun ia mengakui bahwa kondisi sosial berbeda secara dramatis oleh ras.  Pada pergantian abad ke-20, sosiolog memandang konsep ras dengan cara yang dibentuk oleh rasisme ilmiah abad ke-19 dan awal abad ke-20. 
 Banyak sosiolog berfokus pada Afrika-Amerika, yang disebut orang Negro pada waktu itu, dan mengklaim bahwa mereka lebih rendah daripada orang kulit putih. Sosiolog kulit putih Charlotte Perkins Gilman (1860–1935), misalnya, menggunakan argumen biologis untuk mengklaim inferioritas orang Afrika-Amerika. Sosiolog Amerika Charles H. Cooley (1864–1929) berteori bahwa perbedaan di antara ras adalah "alami," dan bahwa perbedaan biologis menghasilkan perbedaan dalam kemampuan intelektual Edward Alsworth Ross (1866-1951), juga seorang tokoh penting dalam pendirian sosiologi Amerika, dan seorang eugenis , percaya bahwa orang kulit putih adalah ras yang unggul, dan bahwa ada perbedaan mendasar dalam "temperamen" di antara ras. Pada tahun 1910, Journal menerbitkan sebuah artikel oleh Ulysses G. Weatherly (1865-1940) yang menyerukan supremasi kulit putih dan pemisahan ras untuk melindungi kemurnian ras.
      WEB Du Bois (1868–1963), salah satu sosiolog Afrika-Amerika pertama, adalah sosiolog pertama yang menggunakan konsep sosiologis dan metode penelitian empiris untuk menganalisis ras sebagai konstruksi sosial alih-alih realitas biologis.  Dimulai pada tahun 1899 dengan bukunya The Philadelphia Negro , Du Bois belajar dan menulis tentang ras dan rasisme sepanjang kariernya. Dalam karyanya, ia berpendapat bahwa kelas sosial , kolonialisme , dan kapitalisme membentuk gagasan tentang ras dan kategori ras. Ilmuwan sosial sebagian besar meninggalkan rasisme ilmiah dan alasan biologis untuk skema kategorisasi ras pada 1930-an. 
     Sosiolog yang terkait dengan Chicago School berteori bahwa gagasan tentang ras dibangun secara sosial, dan tidak biologis.  Pada 1978, William Julius Wilson (1935–) berpendapat bahwa ras dan sistem klasifikasi ras menurun signifikansi, dan sebaliknya, kelas sosial lebih akurat menggambarkan apa yang sebelumnya dipahami oleh para sosiolog sebagai ras.  Pada 1986, sosiolog Michael Omi dan Howard Winant berhasil memperkenalkan konsep pembentukan rasial untuk menggambarkan proses pembuatan kategori rasial. Omi dan Winant menegaskan bahwa "tidak ada dasar biologis untuk membedakan antara kelompok manusia di sepanjang garis ras." Saat ini, sosiolog umumnya memahami kategori ras dan ras sebagai konstruksi sosial, dan menolak skema kategorisasi ras yang bergantung pada perbedaan biologis. 

Ras dan kesehatan
    Di Amerika Serikat, kebijakan pemerintah federal mempromosikan penggunaan data yang dikategorikan berdasarkan ras untuk mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan kesehatan antara kelompok ras atau etnis. Dalam pengaturan klinis, ras kadang dipertimbangkan dalam diagnosis dan perawatan kondisi medis. Dokter telah mencatat bahwa beberapa kondisi medis lebih lazim pada kelompok ras atau etnis tertentu daripada yang lain, tanpa memastikan penyebab perbedaan tersebut. Minat baru-baru ini dalam kedokteran berbasis ras , atau farmakogenomik bertarget ras, telah dipicu oleh proliferasi data genetik manusia yang mengikuti penguraian genom manusia pada dekade pertama abad kedua puluh satu. 
     Ada perdebatan aktif di antara para peneliti biomedis tentang makna dan pentingnya ras dalam penelitian mereka. Pendukung penggunaan kategori rasial dalam biomedis berpendapat bahwa penggunaan berkelanjutan kategorisasi rasial dalam penelitian biomedis dan praktik klinis memungkinkan penerapan temuan genetik baru, dan memberikan petunjuk untuk diagnosis. Posisi para peneliti biomedis tentang ras jatuh ke dalam dua kubu utama: mereka yang menganggap konsep ras tidak memiliki dasar biologis dan mereka yang menganggapnya memiliki potensi untuk bermakna secara biologis. Anggota kamp yang terakhir sering mendasarkan argumen mereka di sekitar potensi untuk membuat obat pribadi berbasis genom.
   Peneliti lain menunjukkan bahwa menemukan perbedaan dalam prevalensi penyakit antara dua kelompok yang didefinisikan secara sosial tidak selalu menyiratkan penyebab genetik dari perbedaan tersebut.  Mereka menyarankan bahwa praktik medis harus mempertahankan fokus mereka pada individu daripada keanggotaan individu pada kelompok mana pun.
     Mereka berpendapat bahwa terlalu menekankan kontribusi genetik pada kesenjangan kesehatan membawa berbagai risiko seperti memperkuat stereotip, mempromosikan rasisme atau mengabaikan kontribusi faktor non-genetik terhadap kesenjangan kesehatan. Data epidemiologis internasional menunjukkan bahwa kondisi kehidupan daripada ras membuat perbedaan terbesar dalam hasil kesehatan bahkan untuk penyakit yang memiliki perawatan "khusus ras". Beberapa penelitian telah menemukan bahwa pasien enggan menerima kategorisasi ras dalam praktik medis.
      Dalam upaya untuk memberikan deskripsi umum yang dapat memfasilitasi pekerjaan petugas penegak hukum yang ingin menangkap tersangka, FBI Amerika Serikat menggunakan istilah "ras" untuk merangkum penampilan umum (warna kulit, tekstur rambut, bentuk mata, dan lainnya dengan mudah memperhatikan karakteristik) dari individu yang mereka coba tangkap. Dari perspektif petugas penegak hukum , umumnya lebih penting untuk sampai pada deskripsi yang akan dengan mudah menyarankan penampilan umum seseorang daripada membuat kategorisasi yang valid secara ilmiah oleh DNA atau cara lain semacam itu. Dengan demikian, selain menugaskan individu yang diinginkan ke kategori ras, deskripsi seperti itu akan mencakup: tinggi, berat badan, warna mata, bekas luka, dan karakteristik pembeda lainnya.
      Lembaga peradilan pidana di Inggris dan Wales menggunakan setidaknya dua sistem klasifikasi ras / etnis terpisah ketika melaporkan kejahatan, pada tahun 2010. Salah satunya adalah sistem yang digunakan dalam Sensus 2001 ketika individu mengidentifikasi diri mereka sebagai milik kelompok etnis tertentu: W1 (White- Inggris), W2 (Putih-Irlandia), W9 (Latar belakang putih lainnya); M1 (Karibia putih dan hitam), M2 (Afrika putih dan hitam), M3 (Putih dan Asia), M9 (Semua latar belakang campuran lainnya); A1 (Asia-India), A2 (Asia-Pakistan), A3 (Asia-Bangladesh), A9 (Apa pun latar belakang Asia lainnya); B1 (Black Caribbean), B2 (Black African), B3 (Setiap latar belakang hitam lainnya); O1 (Cina), O9 (Lainnya). 
      Yang lain adalah kategori yang digunakan oleh polisi ketika mereka secara visual mengidentifikasi seseorang sebagai milik kelompok etnis, misalnya pada saat berhenti dan mencari atau menangkap: Putih - Eropa Utara (IC1), Putih - Eropa Selatan (IC2), Hitam (IC3), Asia (IC4), Cina, Jepang, atau Asia Tenggara (IC5), Timur Tengah (IC6), dan Tidak Diketahui (IC0). "IC" adalah singkatan dari "Kode Identifikasi;" barang-barang ini juga disebut sebagai klasifikasi Phoenix. [194] Petugas diperintahkan untuk "mencatat respons yang telah diberikan" bahkan jika orang tersebut memberikan jawaban yang mungkin salah; persepsi mereka sendiri tentang latar belakang etnis seseorang dicatat secara terpisah. Keterbandingan informasi yang direkam oleh petugas dipertanyakan oleh Kantor Statistik Nasional (ONS) pada bulan September 2007, sebagai bagian dari Tinjauan Data Kesetaraannya; satu masalah yang dikutip adalah jumlah laporan yang berisi etnis "Tidak Disebutkan."
      Di banyak negara, seperti Perancis , negara secara hukum dilarang memelihara data berdasarkan ras, yang sering membuat masalah polisi meminta pemberitahuan kepada publik yang menyertakan label seperti "kulit gelap", dll. 
       Di Amerika Serikat, praktik profil rasial telah dianggap tidak konstitusional dan melanggar hak-hak sipil . Ada perdebatan aktif mengenai penyebab korelasi yang nyata antara kejahatan yang dicatat, hukuman yang dijatuhkan, dan populasi negara tersebut. Banyak yang menganggap profil ras sebagai contoh rasisme institusional dalam penegakan hukum. Sejarah penyalahgunaan kategori rasial untuk berdampak buruk pada satu atau lebih kelompok dan / atau untuk menawarkan perlindungan dan keuntungan bagi kelompok lain memiliki dampak yang jelas pada debat tentang penggunaan yang sah dari karakteristik fenotipik atau genotip yang diketahui terkait dengan ras yang diduga sebagai korban dan pelaku oleh pemerintah.
     Penahanan massal di Amerika Serikat secara tidak proporsional berdampak pada komunitas Afrika Amerika dan Latin. Michelle Alexander, penulis The New Jim Crow : Mass Incarceration in the Age of Colorblindness (2010), berpendapat bahwa penahanan massal paling baik dipahami sebagai tidak hanya sebuah sistem penjara yang penuh sesak. Penahanan massal juga merupakan, "jaringan hukum, aturan, kebijakan, dan adat istiadat yang lebih besar yang mengendalikan para penjahat berlabel masuk dan keluar penjara."
      Ia mendefinisikannya lebih jauh sebagai "sebuah sistem yang mengunci orang tidak hanya di balik jeruji aktual di penjara yang sebenarnya, tetapi juga di balik jeruji virtual dan dinding virtual", menggambarkan kewarganegaraan kelas dua yang dikenakan pada jumlah orang kulit berwarna yang tidak proporsional. , khususnya Afrika-Amerika. Dia membandingkan penahanan massal dengan hukum Jim Crow , yang menyatakan bahwa keduanya berfungsi sebagai sistem kasta ras.
      Banyak temuan penelitian tampaknya setuju bahwa dampak ras korban dalam keputusan penangkapan IPV mungkin termasuk bias rasial yang mendukung korban kulit putih. Sebuah studi 2011 dalam sampel nasional penangkapan IPV menemukan bahwa penangkapan perempuan lebih mungkin jika korban laki-laki berkulit putih dan pelaku perempuan berkulit hitam, sedangkan penangkapan laki-laki lebih mungkin jika korban perempuan berkulit putih. Untuk penangkapan perempuan dan laki-laki dalam kasus IPV, situasi yang melibatkan pasangan menikah lebih mungkin menyebabkan penangkapan dibandingkan dengan pasangan yang berpacaran atau bercerai. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami faktor-faktor lembaga dan masyarakat yang mempengaruhi perilaku polisi dan bagaimana perbedaan dalam intervensi / alat keadilan IPV dapat diatasi.
      Pekerjaan terbaru menggunakan analisis gugus DNA untuk menentukan latar belakang ras telah digunakan oleh beberapa penyelidik kriminal untuk mempersempit pencarian mereka terhadap identitas tersangka dan korban. Para pendukung profil DNA dalam investigasi kriminal mengutip kasus-kasus di mana arahan berdasarkan analisis DNA terbukti bermanfaat, tetapi praktik ini tetap kontroversial di antara ahli etika medis, pengacara pertahanan, dan beberapa dalam penegakan hukum. 

Antropologi forensik
      Demikian pula, para antropolog forensik memanfaatkan ciri-ciri morfologis yang sangat diwariskan dari sisa-sisa manusia (misalnya pengukuran tengkorak) untuk membantu dalam identifikasi tubuh, termasuk dalam hal ras. Dalam sebuah artikel tahun 1992, antropolog Norman Sauer mencatat bahwa antropolog pada umumnya meninggalkan konsep ras sebagai representasi valid keanekaragaman hayati manusia, kecuali antropolog forensik. Dia bertanya, "Jika ras tidak ada, mengapa antropolog forensik begitu pandai mengidentifikasi mereka?"  Dia menyimpulkan:
      Keberhasilan penugasan ras ke spesimen kerangka bukanlah pembenaran konsep ras, melainkan prediksi bahwa seorang individu, ketika masih hidup ditugaskan ke kategori "ras" yang dibangun secara sosial. Spesimen dapat menampilkan fitur yang mengarah ke keturunan Afrika. Di negara ini orang tersebut kemungkinan telah diberi label Hitam terlepas dari apakah ras seperti itu benar-benar ada di alam. 
      Identifikasi nenek moyang seseorang tergantung pada pengetahuan tentang frekuensi dan distribusi sifat fenotipik dalam suatu populasi. Ini tidak mengharuskan penggunaan skema klasifikasi rasial berdasarkan sifat-sifat yang tidak terkait, meskipun konsep ras banyak digunakan dalam konteks medis dan hukum di Amerika Serikat.
      Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa ras dapat diidentifikasi dengan tingkat akurasi yang tinggi menggunakan metode tertentu, seperti yang dikembangkan oleh Giles dan Elliot. Namun, metode ini terkadang gagal untuk direplikasi di waktu dan tempat lain; misalnya, ketika metode ini diuji ulang untuk mengidentifikasi penduduk asli Amerika, rata-rata tingkat akurasi turun dari 85% menjadi 33%. Informasi sebelumnya tentang individu (mis. Data Sensus) juga penting dalam memungkinkan identifikasi akurat "ras" individu. 
      Dalam pendekatan yang berbeda, antropolog C. Loring Brace berkata: Jawaban sederhananya adalah bahwa, sebagai anggota masyarakat yang mengajukan pertanyaan, mereka ditanamkan ke dalam konvensi sosial yang menentukan jawaban yang diharapkan. Mereka juga harus menyadari ketidakakuratan biologis yang terkandung dalam jawaban "benar secara politis" itu. Analisis kerangka tidak memberikan penilaian langsung terhadap warna kulit, tetapi analisis ini memungkinkan perkiraan akurat asal geografis asli. Leluhur Afrika, Asia Timur, dan Eropa dapat ditentukan dengan tingkat akurasi yang tinggi. Afrika tentu saja berarti "hitam", tetapi "hitam" tidak berarti Afrika.
     Dalam hubungannya dengan program NOVA pada tahun 2000 tentang ras, ia menulis sebuah esai yang menentang penggunaan istilah tersebut.
     Sebuah studi tahun 2002 menemukan bahwa sekitar 13% variasi kraniometrik manusia ada di antara wilayah, sementara 81% ada di daerah (6% lainnya ada di antara populasi lokal di wilayah yang sama). Sebaliknya, pola yang berlawanan dari variasi genetik diamati untuk warna kulit (yang sering digunakan untuk mendefinisikan ras), dengan 88% variasi antar daerah. Studi ini menyimpulkan bahwa "pembagian keragaman genetik dalam warna kulit tidak khas, dan tidak dapat digunakan untuk tujuan klasifikasi."
      Demikian pula, sebuah penelitian tahun 2009 menemukan bahwa craniometrics dapat digunakan secara akurat untuk menentukan bagian dunia mana seseorang berasal berdasarkan cranium mereka; Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa tidak ada batas mendadak yang memisahkan variasi kraniometrik menjadi kelompok ras yang berbeda. 
      Penelitian 2009 lainnya menunjukkan bahwa orang kulit hitam dan kulit putih Amerika memiliki morfologi kerangka yang berbeda, dan bahwa pola signifikan dalam variasi sifat-sifat ini ada di dalam benua. Ini menunjukkan bahwa mengklasifikasikan manusia ke dalam ras berdasarkan karakteristik kerangka akan membutuhkan banyak "ras" yang berbeda untuk didefinisikan.

Sumber Referensi : Wikipedia. Org