"SELAMAT DATANG DI BLOG GEOGRAFI LINGKUNGAN""(EKOGEO)"

Wednesday, February 28, 2018

HARI KATAK SEDUNIA TAHUN 2018

   Dalam rangka menyambut Hari Katak Sedunia yang jatuh pada hari ini Rabu, 28 Februari 2018, maka artikel yang diturunkan dalam postingan kali ini adalah informasi umum tentang Katak, satwa ampibi yang hidup di dua habitat air dan darat. Walaupun secara kuantitas populasi katak sangat berlimpah dan pertumbuhan populasinya sangat cepat, tetap kita harus peduli pada keberadaannya di alam liar untuk ikut menjaga keutuhan dan kelestarian habitatnya,sehingga satwa ampibi ini bisa menjaga keberlangsungan hidupnya dengan baik.Memang secara fisik, beberapa jenis Katak tampak menjijikan dan berlendir bahkan ada yang beracun, namun ada beberapa jenis yang dapat dikonsumsi dan dipelihara sebagai satwa kesayangan.
   Katak yang dalam bahasa Inggrisnya disebut frog adalah binatang amfibi pemakan serangga yang hidup di air tawar atau di daratan, berkulit licin, berwarna hijau atau merah kecokelat-cokelatan, kaki belakang lebih panjang, pandai melompat dan berenang; sedangkan kodok, nama lain dari bangkong (bahasa Inggris: toad), memiliki kulit yang kasar dan berbintil-bintil atau berbingkul-bingkul, kerap kali kering, dan kaki belakangnya sering pendek saja, sehingga kebanyakan bangsa kodok kurang pandai melompat jauh.

Kehidupan kodok dan katak

    Kodok dan katak mengawali hidupnya sebagai telur yang diletakkan induknya di air, di sarang busa, atau di tempat-tempat basah lainnya. Beberapa jenis kodok pegunungan menyimpan telurnya di antara lumut-lumut yang basah di pepohonan. Sementara jenis kodok hutan yang lain menitipkan telurnya di punggung kodok jantan yang lembap, yang akan selalu menjaga dan membawanya hingga menetas bahkan hingga menjadi kodok kecil.Sekali bertelur katak bisa menghasilkan 5000-20000 telur, tergantung dari kualitas induk dan berlangsung sebanyak tiga kali dalam setahun.
   Telur-telur kodok dan katak menetas menjadi berudu atau kecebong (b. Inggris: tadpole), yang bertubuh mirip ikan gendut, bernapas dengan insang dan selama beberapa lama hidup di air. Perlahan-lahan akan tumbuh kaki belakang, yang kemudian diikuti dengan tumbuhnya kaki depan, menghilangnya ekor dan bergantinya insang dengan paru-paru. Setelah masanya, berudu ini akan melompat ke darat sebagai kodok atau katak kecil.
    Kodok dan katak kawin pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada saat bulan mati atau pada ketika menjelang hujan. Pada saat itu kodok-kodok jantan akan berbunyi-bunyi untuk memanggil betinanya, dari tepian atau tengah perairan. Beberapa jenisnya, seperti kodok tegalan (Fejervarya limnocharis) dan kintel lekat alias belentung (Kaloula baleata), kerap membentuk ‘grup nyanyi’, di mana beberapa hewan jantan berkumpul berdekatan dan berbunyi bersahut-sahutan. Suara keras kodok dihasilkan oleh kantung suara yang terletak di sekitar lehernya, yang akan menggembung besar manakala digunakan.
    Pembuahan pada kodok dilakukan di luar tubuh. Kodok jantan akan melekat di punggung betinanya dan memeluk erat ketiak si betina dari belakang. Sambil berenang di air, kaki belakang kodok jantan akan memijat perut kodok betina dan merangsang pengeluaran telur. Pada saat yang bersamaan kodok jantan akan melepaskan spermanya ke air, sehingga bisa membuahi telur-telur yang dikeluarkan si betina.

Habitat dan makanan

  
Kodok dan katak hidup menyebar luas, terutama di daerah tropis yang berhawa panas. Makin dingin tempatnya, seperti di atas gunung atau di daerah bermusim empat (temperate), jumlah jenis kodok cenderung semakin sedikit. Salah satunya ialah karena kodok termasuk hewan berdarah dingin, yang membutuhkan panas dari lingkungannya untuk mempertahankan hidupnya dan menjaga metabolisme tubuhnya.
   Hewan ini dapat ditemui mulai dari hutan rimba, padang pasir, tepi-tepi sungai dan rawa, perkebunan dan sawah, hingga ke lingkungan permukiman manusia. Bangkong kolong, misalnya, merupakan salah satu jenis katak yang kerap ditemui di pojok-pojok rumah atau di balik pot di halaman. Katak pohon menghuni pohon-pohon rendah dan semak belukar, terutama di sekitar saluran air atau kolam.
   Kodok memangsa berbagai jenis serangga yang ditemuinya. Kodok kerap ditemui berkerumun di bawah cahaya lampu jalan atau taman, menangkapi serangga-serangga yang tertarik oleh cahaya lampu tersebut. Sebaliknya, kodok juga dimangsa oleh berbagai jenis makhluk yang lain: ular, kadal, burung-burung , seperti bangau ,elang, garangan, linsang, dan juga dikonsumsi manusia.
   Kodok membela diri dengan melompat jauh, mengeluarkan lendir dan racun dari kelenjar di kulitnya; dan bahkan ada yang menghasilkan semacam lendir pekat yang lengket, sehingga mulut pemangsanya akan melekat erat dan susah dibuka.

Berkembang Biak

Pada saat bereproduksi katak dewasa akan mencari lingkungan yang berair. Disana mereka meletakkan telurnya untuk dibuahi secara eksternal. Telur tersebut berkembang menjadi larva dan mencari nutrisi yang dibutuhkan dari lingkungannya, kemudian berkembang menjadi dewasa dengan bentuk tubuh yang memungkinkannya hidup di darat, sebuah proses yang dikenal dengan metamorfosis. Tidak seperti telur reptil dan burung, telur katak tidak memiliki cangkang dan selaput embrio. Sebaliknya telur katak hanya dilindungi oleh kapsul mukoid yang sangat permeabel sehingga telur katak harus berkembang di lingkungan yang sangat lembap atau berair.

Kodok dan manusia
  
Sudah sejak lama kodok dikenal manusia sebagai salah satu makanan lezat. Di rumah-rumah makan Tionghoa, masakan kodok terkenal dengan nama swie kee. Disebut 'ayam air' (swie: air, kee: ayam) demikian karena paha kodok yang gurih dan berdaging putih mengingatkan pada paha ayam. Selain itu, di beberapa tempat di Jawa Timur, telur-telur kodok tertentu juga dimasak dan dihidangkan dalam rupa pepes telur kodok.
   Katak berperan sangat penting sebagai indikator pencemaran lingkungan. Tingkat pencemaran lingkungan pada suatu daerah dapat dilihat dari jumlah populasi katak yang dapat ditemukan di daerah tersebut. Latar belakang penggunaan katak sebagai indikator lingkungan karena katak merupakan salah satu mahluk purba yang telah ada sejah ribuan tahun lalu. Jadi katak tetap hidup dengan perubahan iklim bumi.
   Tentunya hanya pengaruh manusialah yang mungkin menyebabkan terancamnya populasi katak. Salah satunya adalah pembuangan limbah berbahaya oleh manusia ke alam. Limbah berbahaya inilah yang bisa mengancam keberadaan katak pada daerah yang tercemar. Selain itu, karena pentingnya kedudukan katak dalam rantai makanan, maka pengurangan jumlah katak akan menyebabkan terganggunya dinamika pertumbuhan predator katak. Bahkan terganggunya populasi katak dapat berakibat langsung dengan punahnya predator katak.
    Akan tetapi yang lebih mengancam kehidupan kodok sebenarnya adalah kegiatan manusia yang banyak merusak habitat alami kodok, seperti hutan-hutan, sungai dan rawa-rawa. Apalagi kini penggunaan pestisida yang meluas di sawah-sawah juga merusak telur-telur dan berudu katak, serta mengakibatkan cacat pada generasi kodok yang berikutnya.

Jenis-jenis kodok dan katak

Beberapa jenis kodok yang umum didapatkan di Indonesia, di antaranya adalah
  • bangkong bertanduk (Megophrys montana), di gunung-gunung
  • bangkong serasah (Leptobrachium hasseltii), di hutan
  • bangkong sungai (Bufo asper), di sekitar sungai
  • bangkong kolong (B. melanostictus), di lingkungan rumah
  • belentung (Kaloula baleata)
  • kongkang kolam (Rana chalconota), di sekitar kolam, saluran air dan sungai
  • kongkang gading (Rana erythraea), di kolam dan telaga
  • bancet hijau (Occidozyga lima), di sawah-sawah
  • kodok tegalan (Fejervarya limnocharis), di sawah dan tegalan
  • kodok sawah (Fejervarya cancrivora), di sawah dan pematang
  • kodok batu (Limnonectes macrodon), di sekitar sungai dan saluran air di kebun
  • katak-pohon bergaris (Polypedates leucomystax), di dekat kolam dan genangan di kebun
  • precil jawa (Microhyla achatina)
Kodok hutan:
  • kongkang racun (Rana hosii), di hutan pedalaman
  • kodok-puru hutan (Ingerophrynus biporcatus)
  • katak kepala-pipih kalimantan (Barbourula kalimantanensis), berstatus terancam kepunahan, satu-satunya kodok yang tidak berparu-paru
  • bangkong tuli (Limnonectes kuhlii), di tepi sungai atau aliran air
Berikut adalah beberapa jenis kodok yang berstatus kritis dan terancam di Indonesia.
  • kodok merah (Leptophryne cruentata), berstatus kritis, endemik Jawa Barat
  • kodok pohon ungaran (Philautus jacobsoni), kritis, endemik hutan Jawa Tengah
  • kongkang jeram (Hula masonii), berstatus rentan, endemik Taman Nasional Gunung Halimun
  • kodok pohon mutiara (Nytixalus margaritifer), rentan, endemik Taman Nasional Gunung Halimun
  • kodok pohon kaki putih (Philautus pallidipes), rentan, endemik Taman Nasional Gunung Halimun
  • kodok pohon jawa (Rhacophorus javanus), rentan, endemik Taman Nasional Gunung Halimun
  • Bufo valhallae, endemik di Pulau Weh.
Sumber Referensi : Wikipedia Indonesia