Pertengahan Januari, jasad orang utan jantan tanpa kepala ditemukan terapung di sungai di Kabupaten Barito, Kalimantan Tengah. Laporan media menyebutkan orang utan di Barito itu diduga dibunuh oleh pekerja perkebunan karet.
Menyusul temuan jasad tersebut Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno mengeluarkan surat edaran menyerukan semua pemangku kepentingan—seperti pemilik konsesi, LSM, pemerintah, serta akademisi—untuk melindungi populasi orang utan di Sumatra dan Kalimantan.
Surat edaran tersebut mengimbau masyarakat dan pemilik perkebunan untuk menghubungi call center jika menemukan orang utan di luar habitatnya atau jika terlibat konflik dengan orang utan atau satwa liar lainnya.
Terbitnya surat edaran tersebut menunjukkan pemerintah tanggap mengendalikan kasus kekerasan terhadap satwa liar. Ini langkah yang penting, terutama karena ada banyak tantangan terhadap konservasi orang utan di Indonesia.
Tantangan konservasi orang utan
Di Indonesia, meski spesies orang utan dilindungi, habitatnya tidak dilindungi. Habitat orang utan adalah hutan hujan tropis yang luasnya di dunia terus menyusut.
Saat ini orang utan hanya dapat ditemukan di Pulau Sumatra dan Borneo (Kalimantan dan teritori negara Malaysia yaitu Serawak dan Sabah).
Di Borneo, 78% sebaran orang utan ada di luar kawasan konservasi. Habitatnya, di pulau ini dan di Sumatra, terfragmentasi, terpisahkan oleh adanya konsesi perkebunan atau infrastruktur lain seperti jalan.
Baik di Indonesia maupun Malaysia, habitat orang utan terancam ekspansi perkebunan kelapa sawit. Indonesia dan Malaysia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia.
Kasus pembunuhan orang utan di perkebunan komoditas komersial seperti karet dan kepala sawit sudah banyak terjadi. Bahkan, tahun lalu ada laporan bahwa pelaku memakan binatang yang dilindungi tersebut.
Selain itu orang utan diburu dan diperdagangkan di pasar online. Lemahnya penegakan hukum membuat kejahatan-kejahatan ini terus berlangsung.
Sulit memperkirakan tingkat kekerasan manusia terhadap orang utan yang disebabkan konflik dengan manusia. Sebuah survei yang dilakukan di Kalimantan pada 2011, yang menggunakan metode wawancara orang lokal, memperkirakan sekitar 1.950 hingga 3.100 orang utan dibunuh dalam setahun dalam jangka waktu usia responden. Penelitian ini mewawancarai 6.983 responden di 687 desa sehingga bisa terjadi bias dari responden.
Kera besar penyendiri
Hanya ada sekitar 71.000 ekor orang utan yang tersisa di Bumi, dan angka ini terus menurun. Dahulu, mereka tersebar dari Himalaya hingga Cina. Meski dari penelitian morfologi fosil orang utan yang hidup di Himalaya hingga Cina berukuran jauh lebih besar dari orang utan yang hidup saat ini.
Sekitar 10.000-12.000 tahun yang lalu, orang utan juga tersebar di Pulau Jawa. Batasnya adalah sungai Bengawan Solo.
Orang utan termasuk kera besar, primata non-manusia yang memiliki kekerabatan terdekat dengan manusia.DNA kita berbagi 96,4% dengan orang utan dan 99% dengan simpanse. Artinya, penularan penyakit, baik dari manusia ke satwa atau sebaliknya, dapat terjadi dengan mudah. Namun, kita juga dapat belajar tumbuhan obat dari mereka.
Tidak seperti simpanse atau bonobo yang tinggal berkelompok dalam ikatan sosial yang erat, orang utan senang hidup menyendiri. Masing-masing orang utan menjelajah wilayah yang luas. Peluang mereka untuk bertemu dan bersosialisasi dengan orang utan lain minim. Orang utan jantan yang memiliki pipi lebar adalah yang paling penyendiri. Mereka biasanya bersosialiasi untuk kawin dengan betina dewasa atau remaja.
Orang utan betina mulai bereproduksi pada usia 14-15 tahun. Mereka mengandung selama sembilan bulan, dan mengasuh anaknya selama 6-7 tahun. Jarak antarkelahiran 7-8 tahun. Usia mereka biasanya hingga 50 tahun ke atas.
Apa yang bisa kita lakukan?
Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya melindungi orang utan perlu ditingkatkan. Masyarakat umum dapat mendukung program konservasi baik yang langsung maupun tidak langsung. Misalnya, jika mendapati iklan di media sosial yang menawarkan orang utan atau satwa liar lainnya, segera lapor ke pihak berwenang. Jangan membeli satwa liar yang dilindungi.
Sebagai konsumen, masyarakat bisa memilih untuk hanya membeli produk-produk yang ramah orang utan dan biodiversitas lain yang dilindungi. Ini memang tidak mudah. Untuk melakukan ini konsumen bisa cek situs lembaga-lembaga konservasi seperti Greenpeace dan memeriksa informasi dalam kemasan.
Masyarakat umum juga dapat menyumbang dana atau program untuk masyarakat yang hidup di sekitar habitat orang utan agar mereka tidak berburu. Jika ingin berwisata melihat orang utan, pilih destinasi tempat orang utan tinggal di habitat alaminya. Wisatawan tidak boleh mengganggu orang utan. Jangan memberi makan, menggendong atau berfoto dengan jarak yang sangat dekat. Karena orang utan berbagi 96,4% DNA manusia, mereka bisa tertular penyakit yang sedang diderita pengunjung.
Untuk pengusaha perkebunan, hindari pemilihan lokasi yang tumpang tindih dengan habitat sebaran orang utan dan biodiversitas lain yang dilindungi. Pemerintah perlu memaksimalkan kebijakan satu peta. Dengan kebijakan satu peta ini, maka rencana tata ruang dan tata wilayah (RTRW), konsesi wilayah perkebunan dan pertambangan, serta wilayah konservasi orang utan dan keanekaragaman hayati lain yang dilindungi akan mengacu pada satu peta. Ini diharapkan dapat menghindari tumpang tindih kepentingan, termasuk antara konservasi dan ekonomi, agar dapat mengurangi kemungkinan terjadinya konflik.
Upaya konservasi orangutan yang dihadapi saat ini tidak hanya terkendala pada minimnya lokasi pelepasliaran. Tetapi juga, masih maraknya jual beli orangutan yang dilakukan pedagang liar secara online. Jamartin Sihite, CEO Borneo Orangutan Survival Foundation(BOSF)atau Yayasan Borneo Orangutan Survival, berharap pemerintah membuat kebijakan terkait lokasi untuk pelepasliaran orangutan. Menurutnya, dalam 10 tahun terakhir, konversi lahan untuk perkebunan sawit dan HPH telah mempersempit habitat orangutan. Dampak negatif yang terjadi adalah konflik orangutan dengan manusia tidak bisa dihindari.
“Pemerintah sebaiknya tidak memberi izinbaru untuk lahan yang dijadikan perkebunan sawit. Jangan menambah lahan baru, tapi tingkatkan produktivitas dari lahan yang ada,” ujarnya di sela perayaan Hari Orangutan Internasional di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sementara itu, untuk perlindungan orangutan, Jamartin menyerukan adanya ketegasan hukum bagi mereka yang secara nyata menjual primata dilindungi ini. Kontrol yang ketat terhadap penyelundupan orangutan harus ditingkatkan, terutama melalui jalur pelabuhan dan bandar udara. “Adanya sejumlah orangutan yang dipulangkan dari luar negeri ke Indonesia menunjukkan celah kosong yang dimanfaatkan pelaku kejahatan satwa liar untuk memuluskan aksinya,” tuturnya.
Taymur, misalnya, yang dipulangkan ke Indonesia pada 17 April 2017 setelah dua tahun di Kuwait, sejak 2015. Taymur merupakan bayi orangutan jantan usia dua tahun, korban perdagangan satwa liar ilegal jaringan internasional. Saat itu, petugas keamanan Kuwait menemukannya ketika dibawa berkendara pemiliknya, warga Kuwait.
Sebelumnya, BOSF juga terlibat dalam pemulangan Moza dan Puspa dari Kuwait serta beberapa individu orangutan dari Thailand pada 2015. Semua orangutan tersebut adalah korban penyelundupan dan perdagangan ilegal satwa liar. Taymur, kata Jamartin, masih berada di Taman Safari Indonesia, menunggu pengangkutan ke Kalimantan karena ia merupakan subspesies orangutan yang berada di Kalimantan Tengah. “Awal September diusahakan, kami sedang mencari penerbangannya.”
Bagaimana dengan Moza dan Puspa? Mereka masih belajar mengenali lingkungan. “Mereka ini pembelajar cepat, temannya banyak, sudah mulai manjat pohon, bikinsarang. Perkembangannya bagus,” ujarnya lagi. Jamartin mengatakan, saat ini masih ada empat orangutan di Thailand yang harus dipulangkan. Dia pun menyebutkan tren yang harus diperhatikan terkait perdagangan satwa liar ilegal ke Tiongkok dan Timur Tengah. “Sekarang, dua tempat ini menjadi pusat ekonomi. Ada kebanggaan memiliki satwa liar, termasuk orangutan yang memang eksotik,”ujarnya.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam sambutan tertulisanya saat perayaan Hari Orangutan Internasional, memberikan dukungan penuh terhadap upaya konservasi orangutan. “Hutan Indonesia dengan segala keragamanhayatinya merupakan harta yang tidak ternilai. Hutan berkualitas tentunya mendukung kehidupan seluruh makhluk hidup yang ada di bumi ini, tak terkecuali kehidupan manusia.”
Upaya pelestarian hutan, tentu saja tidak bisa dilakukan sepihak. Kita semua, mulai pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, pelaku bisnis, hingga organisasi lingkungan dan kemasyarakatan, merupakan para pemangku kepentingan yang harus bersinergi. “Menjaga kelestarian hutan berarti menjaga kehidupan kita semua,” terangnya.
Populasi orangutan
Hasil kajian PHVA (Population and Habitat Viability Analysis) Orangutan 2016 memperkirakan, sekitar 71.980 individu orangutan hidup di Pulau Sumatera dan Borneo (Kalimantan, Sabah, dan Serawak) di habitat seluas 181.692 kilometer persegi. Populasi ini tersebar dalam 52 meta populasi yang hanya 38 persen saja diprediksi akan lestari (viable) untuk rentang waktu 100 – 500 tahun mendatang.
Sebagaimana dikutip dari laman FORINA (Forum Orangutan Indonesia), kajian PHVA orangutan sumatera (Pongo abelii) dan orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) telah dilakukan pada 23-27 Mei 2016. Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, FORINA, dan Forum Orangutan Regional beserta para pegiat konservasi orangutan melakukan analisis tersebut.
Berdasarkan PHVA 2016, populasi orangutan sumatera saat ini diperkirakan sekitar 14.630 individu di bentang habitat seluas 2.155.692 hektare. Orangutan ini dapat ditemukan hingga ketinggian 1.500 meter diatas permukaan laut yang tersebar di 10 meta populasi. Berdasarkan prediksi, hanya dua lokasi populasi yang akan lestari dalam waktu 100 – 500 tahun mendatang, yaitu Jantho Aceh Tenggara dan Bukit Tigapuluh, Jambi.
Sementara orangutan borneo, jumlahnya diperkirakan sekitar 57.350 individu di habitat seluas 16.013.600 hektare yang tersebar di 42 meta populasi. Berdasarkan prediksi, 18 lokasi akan lestari dalam jangka waktu 100 – 500 tahun kedepan. Kondisi ini sekaligus sebagai informasi terbaru akan kehidupan orangutan 10 tahun lalu. Saat itu, jumlahnya disebut sekitar 54.817 individu pada habitat seluas 8.195.000 hektare, yang dilakukan dia area kajian terbatas.
Berdasarkan hasil analisis tersebut, angka minimum populasi orangutan borneo yang akan bertahan di suatu habitat adalah 200 individu. Terkait kemungkinan kepunahan, diperkirakan kurang dari 1% dalam 100 tahun, dan kurang dari 10% dalam waktu 500 tahun, serta 500 individu orangutan berfungsi untuk menjaga kualitas dan variasi genetika. Jika kondisi ini yang dijadikan rujukan, banyak meta populasi orangutan kalimantan yang terfragmentasi, memerlukan keterhubungan melalui koridor dengan meta populasi lainnya.
Secara umum, ancaman kelestarian orangutan dan habitatnya hadir dari konversi hutan yang dijadikan peruntukan lain, tingginya aktivitas penyelamatan (rescue), dan konfiskasi. PHVA Orangutan 2016 ini akan digunakan sebagai acuan utama pembuatan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan (SRAK) 2017-2027.
5 Masalah Konservasi Orang Utan
Ahli orangutan dari Universitas Mulawarman, Yaya Rayadin, mengungkapkan ada lima persoalan yang menjadi ancaman bagi primata berambut merah itu. Lima persoalan itu yang dihadapi primata bernama latin Pongo pygmaeus ini ialah, masalah kebijakan, kapasitas sumber daya manusia, kegiatan pembukaan kawasan habitat, adanya perburuan, dan kebakaran hutan.
"Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) orangutan Indonesia periode 2007-2017 sudah berakhir. Banyak catatan dan perkembangan yang terjadi selama satu dekade," kata Yaya, dalam konferensi pers SRAK Orangutan Indonesia Regional Kalimantan Timur 2017-2027 di Hotel Grand Victoria Samarinda, Selasa, 14 November 2017.
Dampak yang tidak terduga karena masifnya ancaman adalah terganggunya struktur populasi. Menurut Yaya, orangutan sekarang banyak ditemukan berkelamin jantan dan usia dewasa. "Kondisi tersebut lantaran mayoritas mereka (jantan dan dewasa) yang mampu bertahan hidup," kata dia. Adapun yang induk betina,bayi serta anak-anak, banyak yang tidak bisa bertahan lantaran desakan dari lima isu tersebut.
Perubahan anatomi juga terlihat di wilayah temuan orangutan. Orangutan yang ditemui di wilayah hutan alam atau kawasan bernilai konservasi tinggi masih memiliki berat normal sekitar 40-60 kilogram untuk induk dewasa. Sementara untuk yang ditemukan di wilayah terdegradasi, beratnya bisa mencapai 25 kilogram induk dewasa. "Kurus sekali," ujar dia. Pada kondisi ini diduga dapat menyebabkan penurunan populasi.
Berikut lima masalah tersebut:
1. Kebijakan
Menurut Yaya, masih ada tantangan pertanggungjawaban atas konflik orangutan dan manusia. Ia mencontohkan ketika ada kasus konflik orangutan-manusia, persepsi pemerintah daerah di tingkat provinsi maupun kotamadya/kabupaten, tanggung jawab penyelesaiannya ada di Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem atau Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal, menurut Yaya, konflik terjadi salah satunya lantaran keluarnya izin konversi kawasan hutan yang statusnya APL (Areal Penggunaan Lain) untuk konsesi perkebunan sawit, perkebunan, pertambangan maupun pengelolaan hutan.
2. Kapasitas Sumber Daya Manusia
Konflik orangutan dan manusia bisa tertangani dengan baik, menurut dia, bila tahu cara penanganannya. Kini, mayoritas perusahaan pemegang konsesi (sawit, tambang, hutan) sudah memiliki satuan tugas (satgas) orangutan. Keberadaan satgas pengelolaan dan pemantauan jenis-jenis satwa yang dilindungi, khusunya orangutan di unit manajemen menjadi satu prasyarat dalam sertifikasi produk mereka baik untuk sawit berkelanjutan (ISPO/RSPO), maupun pengelolaan hutan lestari (FSC/PHPL). Sehingga, kata Yaya, laju konflik di kawasan perusahaan di kaltim sudah menurun. Namun, konflik justru masih ditemukan di perkebunan masyarakat.
"Untuk konflik di tingkat masyarakat ini memang harus dicari solusinya," kata Yaya. Alternatif termudah adalah memberdayakan satgas perusahaan yang lokasinya berdekatan dengan kebun masyarakat dan sosialisasi yang intensif. Sejumlah satgas-satgas terlatih yang berada didalam perusahaan, terbukti mampu membantu mengendalikan konflik orangutan yang masuk di wilayah masyarakat. Namun, di masa depan, memang diperlukan peningkatan kapasitas masyarakat dalam meredam konflik dengan orangutan.
3. Pembukaan Kawasan Hutan
Banyaknya pembukaan kawasan habitat orangutan membuat primata besar ini ditemukan di tempat-tempat yang dulu takpernah terpikirkan. Ia mencontohkan kawasan Delta Mahakam yang notabene didominasi mangrove dengan satwa kunci Bekantan, pernah ditemukan orangutan. Begitupun jalan-jalan di sepanjang Berau menuju Kecamatan Kelay, Kutai Timur, kanan-kirinya sudah terlihat sarang orangutan. Pemandangan serupa juga ditemukan di kawasan Sebulu yang jalanannya sudah bisa terlihat sarang orangutan.
4. Perburuan
Menurut Yaya, perburuan di sini bukan bermaksud memburu orangutan, melainkan alat jerat berburu babi atau rusa yang juga menyebabkan orangutan terperangkap, kemudian cedera.
5. Kebakaran Hutan
Kebakaran jelas menggangu kawasan hewan penjelajah ini, karena semakin sedikit area tempat pergerakan orangutan. Akibat dari lima ancaman tersebut, populasi orangutan kini tersebar di mana mana baik didalam maupun diluar habitat. "Mereka menyebar ke tempat-tempat yang menyediakan tanaman pakan bagi orangutan, termasuk kawasan perkebunan buah milik masayarakat," kata Yaya
Spesies Baru Orang Utan
Spesies baru orangutan terungkap, namanya Pongo tapanuliensis. Temuan itu diumumkan hari ini oleh tim peneliti gabungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Orangutan Indonesia (FORINA), dan Yayasan Ekosistem Lestari-Program Konservasi Orangutan Sumatera (TEL-SOCP). Informasi mengenai spesies baru ini juga terbit secara daring dalam jurnal Current Biology, Kamis, 2 November 2017, dan akan terbit secara cetak pada 20 November 2017. Studi tim peneliti gabungan ini berjudul "Morphometric, Behavioral, and Genomic Evidence for a New Orangutan Species".
"Jumlah individunya diperkirakan tidak lebih dari 800 ekor yang tersebar di tiga populasi terisolir di Batang Toru, Sumatera Utara," ujar Puji Rianti, salah satu anggota peneliti dari IPB, di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, Jumat, 3 November 2017.
Spesies ini dinobatkan sebagai spesies orangutan ketiga setelah Pongo pygmaeus (Orangutan Borneo) dan Pongo abelii (Orangutan Sumetra). Puji yang telah meneliti genetika konsevasi dari spesies Orangutan di Sumatera sejak 1997 ini, mengatakan orangutan Tapanuli ini diduga sebagai keturunan langsung dari nenek moyang orangutan dari dataran Asia pada masa Pleistosen (zaman es).
Puji mengatakan, orangutan Tapanuli memiliki perbedaan genetika yang sangat besar dari jenis orangutan Sumatera. Peneliti dari Australia National University (ANU), Collin Groves, menjelaskan dua perbedaan morfologi yang ada pada P. tapanuliensis.
"Orangutan Tapanulis punya tengkorak dan rahang yang lebih kecil. Rambut di seluruh tubuh juga lebih keriting," kata Grove. "Kami terkejut sekaligus senang melihat karakteristiknya yang berbeda dengan orangutan lain."
Grove menjelaskan, orangutan Tapanuli jantan menyebarkan informasi dengan cara panggilan jarak jauh atau long call yang berbeda-beda. Jenis pakan spesies ini hanya buah-buahan yang bisa ditemukan di Batang Toru. Menurut Puji, hal tersebut menjadikan perlunya peninjauan ulang atas pengembangan daerah di wilayah Batang Toru agar ekosistem tetap terjaga demi keberangsungan hidup Orangutan Tapanuli.
Menteri LHK, Siti Nurbaya mengatakan, akan bekerjasama dengan pemerintah provinsi, kabupaten, para peneliti, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), sivitas akademika, aktivis lingkungan, masyarakat dan pihak lainnya untuk menjaga ekosistem Batang Toru. "Kami sangat bertekad untuk menjaga keberlangsungan hidup spesies kera besar ini. Kami menyadari bahwa Indonesia semakin memainkan peranan kunci dalam konservasi kehidupan global seluruh kera besar di dunia," ujar Siti Nurbaya
Terancam Punah
Orangutan Tapanuli berjanggut dan berbulu keriting menambah cabang pohon keluarga primata, tapi tampaknya eksistensi mereka tidak akan lama. Spesies yang baru ditemukan itu dalam situasi hampir punah, kurang dari 800 makhluk berwarna kayu manis itu tersisa di alam bebas.
Sekelompok ilmuwan internasional menggolongkan spesies baru primata ini setelah membandingkan tengkorak dan genom dengan spesies orangutan lainnya. Mereka memberi nama Pongo tapanuliensis dari daerah di Pulau Sumatera, tempat tinggal beberapa ratus individu orangutan ini. Populasi orangutan Tapanuli terancam oleh perburuan dan proyek listrik tenaga air yang dapat mengambil wilayah yang luas dari habitat mereka yang terus berkurang.
Primata kedelapan
Biologis telah mengenali tujuh spesies primata yang masih hidup: manusia, gorila timur dan barat, simpanse, bonobo, orangutan Sumatera dan Kalimantan. Sekarang, menurut makalah yang diterbitkan di Current Biology hari ini, biologis dapat menambah spesies orangutan lainnya ke dalam daftar. Orangutan Tapanuli berbulu lebih keriting daripada sepupunya.
Lantas bagaimana bisa sejumlah mamalia pemanjat pohon terbesar di dunia ini berada di bawah radar begitu lama? Orangutan terkenal sangat pemalu. Menemukan mereka, terutama di hutan lebat, adalah sulit — sebagaimana Erik Meijaard, seorang ilmuwan hutan dan konservasi yang kini di Australian National University, temukan ketika ia menghabiskan tiga tahun di 1990an memetakan dimana orangutan hidup di Kalimantan.
"Saya menyusuri dari hulu ke hilir setiap sungai, pedalaman basah, tapi segera paham kalau mencari orangutan secara aktif tidak akan berhasil," kata ia. "Jadi saya sangat mengandalkan bicara dengan orang dan lebih banyak mencari sarang." Setelah ia memetakan orangutan Kalimantan, Dr Meijaards ke Sumatera. Di sana ia membaca catatan yang ditulis penjelajah Belanda di awal 1900an.
"Karena seluruh bahan bacaan zaman kolonial dalam bahasa Belanda — saya sendiri Belanda — saya selalu tertarik mengakses cerita-cerita lama dari tahun 1920-1930an," kata ia.
Ia melihat penyebutan berulang tentang populasi orangutan di daerah Tapanuli, jauh di selatan dari habitat orangutan Sumatera. Rasa penasarannya terusik, Dr Meijaard pergi ke sana.
Ada sekitar 800 orangutan Tapanuli tersisa di alam bebas. Penduduk lokal membenarkan orangutan memang hidup di daerah itu, mengikuti musim matang buah seperti durian dan rambutan. Beberapa orang punya cawan yang diambil dari orangutan mati. Ketika Dr Meijaard berusaha masuk ke hutan, ia tidak melihat satu pun orangutan, tapi menemukan banyak sarang. "Ini memulai segala hal," kata ia.
Bukti tulang dan DNA
"Ini berubah menjadi proyek massif," kata Michael Kruetzen, ahli genetika populasi dari Universitas Zurich dan tim penulis penelitian. Akhirnya, orangutan hidup terlihat di hutan. Mereka memiliki bulu badan lebih keriting dari orangutan Sumatera dan Kalimantan, dan betina bisa berjanggut. Proyek ini mengalami terobosan tragis pada November 2013, ketika satu orangutan jantan di hutan Tapanuli diserang dan dibunuh oleh warga kampung.
Melihat ada kesempatan, para peneliti mengambil tengkoraknya dan membandingkan dengan 33 tengkorak orangutan Sumatera dan Kalimantan. Tengkorak orangutan yang baru terbunuh lebih kecil, wajahnya lebih rata dan taringnya lebih lebar daripada orangutan Sumatera dan Kalimantan. Tengkorak orangutan Tapanuli lebih kecil dari spesies orangutan lainnya.
Para peneliti juga menganalisa contoh darah yang diambil oleh dokter hewa dari dua orangutan lainnya yang lahir di Tapanuli. Dikombinasikan dengan model matematika, DNA menunjukkan orangutan Tapanuli terpisah dari orangutan Sumatera dan Kalimantan sekitar 3,4 juta tahun lalu. Kumpulan bukti ini cukup untuk menunjukkan orangutan Tapanuli sebagai spesies baru.
Ketika gambaran tentang orangutan Tapanuli lebih banyak bersandar pada satu tengkorak dan dua genom, peneliti mengatakan lebih banyak perbedaan antara spesies orangutan dapat bertambah karena lebih banyak contoh ditemukan. Dr Meijaard mengakui analisa genetika menunjukkan beberapa perkawinan silang terjadi antara orangutan Tapanuli dan Sumatera sekitar 10.000 tahun lalu, tapi cukup yakin kalau orangutan Tapanuli secara morfologis cukup berbeda untuk digolongkan sebagai satu spesies.
"Saya tahu ini akan jadi kontorversial, dan akan ada orang yang tidak setuju, tapi tidak apa — kita bisa berdebat tentang itu," kata ia. Ahli ilmu burung dari Universitas Southern Cross Les Christidis yang mengkhususkan diri pada evolusi dan penggolongan burung adalah salah satu ilmuwan yang tidak yakin.
"Data secara morfologis berdasarkan satu individu dan menunjukkan kalau individu itu agak berbeda pada beberapa bagian tengkorak dan gigi, meskipun gigi telah aus di satu-satunya spesimen spesies "baru"," kata Professor Christidis. "Apakah beberapa perbedaan dalam ukuran cukup untuk spesies baru, khususnya data DNA sebagus-bagusnya ambigu?"
Populasi kurang dari 800 orangutan berkeliaran di kawasan hanya 1.000 kilometer persegi — dan area yang relatif kecil itu di bawah ancaman. Pembangunan pembangkit tenaga listrik yand ditujukan selesai tahun 2022 dapat membanjiri 8 persen habitat orangutan Tapanuli. Ini juga bisa memotong koridor hutan yang digunakan oleh orangutan untuk berpindah antara populasi, akan mendorong isolasi lebih jauh dan perkawinan sedarah. Tapi masalah mendesak pada orangutan Tapanuli adalah perburuan.
Setiap pengurangan jumlah perlu tahunan untuk pulih. Betina biasanya melahirkan satu anak setiap sekitar enam tahun. "Angka reproduksi rendah," kata Professor Kruetzen. "Mereka tidak beranak seperti kelinci." "Jika sampai delapan dari 800 individu terbunuh setiap tahun, selain angka kematian normal, spesies ini akan hilang," kata Dr Meijaard
Orangutan hanya ada di Sumatra dan di Borneo. Anak-anak di seluruh dunia paham bahwa Kangguru berasal dari Australia, dan Panda dari China, tetapi tidak banyak yang mengetahui bahwa Orangutan umumnya ada di Indonesia.
Fakta orangutan:
- Orangutan bisa hidup sampai 45 tahun.
- Orangutan dan manusia memiliki kesamaan DNA hingga 97%.
- Ada dua jenis orangutan di dunia, yaitu orangutan Borneo (Pongo pygmaeus) dan orangutan Sumatra (Pongo abelii).
- Orangutan tinggal di hutan tropis dan rawa-rawa.
- Orangutan mengonsumsi buah dan daun-daunan, kulit, bunga, madu, serangga, tumbuhan merambat dan tunas dari tumbuhan.
- Orangutan mulai berkembang biak pada umur 7 hingga 10 tahun. Orangutan merupakan satwa terancam punah dan dilarang ditangkap dan diperjualbelikan karena jumlahnya semakin sedikit.
- Di habitat alaminya, jumlah orangutan di Borneo sekitar 23.000 dan orangutan Sumatra sekitar 12.000
Sang Pemelihara dan Penjaga Hutan
Mengapa orangutan penting bagi hutan dan manusia? Orangutan adalah pemelihara hutan.
Bagaimana cara mereka melakukannya? Orangutan membantu menyebarkan biji tanaman. Saat memakan buah, mereka mengeluarkan bijinya bersama kotoran mereka. Biji-bji itu menyebar ke tempat yang luas. Jika jatuh ke tanah subur, maka biji akan tumbuh menjadi pohon baru.
Selain itu orangutan juga membantu pertumbuhan pohon baru. Pohon membutuhkan sinar matahari. Karena hutan sangat lebat, sinar matahari terhalang sampai ke tanah. Akibatnya pohon-pohon kecil tidak mendapat sinar matahari dan terganggu pertumbuhannya. Saat makan atau membuat sarang, orangutan mematahkan dahan pohon dan mengambil daun-daunan. Bagian atas pohon menjadi terbuka sehingga sinar matahari dapat sampai di permukaan tanah.
Orangutan dalam kondisi darurat
Ancaman terhadap orangutan adalah perubahan fungsi hutan menjadi ladang atau perkebunan besar, pertambangan dan diambil kayunya. Hutan menjadi semakin sempit dan rusak. Ketersediaan makanan menjadi berkurang akibatnya banyak orangutan terpaksa memasuki ladang, kebun masyarakat bahkan perkebunan kelapa sawit untuk mencari makanan. Manusia kemudian menganggap orangutan sebagai hama. Padahal manusialah yang mengambil tempat tinggal orangutan.
Di samping itu orangutan juga terancam perburuan. Orangutan ditangkap untuk dijadikan binatang peliharaan. Memelihara orangutan sebagai binatang peliharaan di rumah bukanlah tindakan yang tepat. Karena orangutan dan manusia memiliki kesamaan DNA hingga 97% yang menyebabkannya mudah untuk saling menyebarkan penyakit.
Heart of Borneo
Borneo adalah salah satu dari dua – yang lainnya adalah Pulau Sumatra – dimana orangutan, gajah dan badak hidup membagi habitat yang sama. Hidupan liar lainnya di Borneo termasuk macan dahan, beruang madu, gibbon Borneo, yang tentu saja tidak ada di bagian lain selain di Borneo. Borneo adalah rumah tinggal bagi 10 spesies primate, lebih dari 350 burung, 150 reptil dan amfibi dan 15.000 lebih spesies tumbuhan.
Borneo terbagi antara Malaysia, Indonesia dan Brunei. Pada tahun 2007, pemerintah ketiga negara tersebut menandatangani deklarasi bersejarah untuk melindungi Heart of Borneo. Sebuah wilayah perbatasan, dataran tinggi hingga dataran rendah yang menyambungkan ketiga negara. WWF mendukung Malaysia, Indonesia dan Brunei untuk mengonservasi hutan hujan seluas 220.000 km2, yang hampir sepertiga luas Pulau Borneo, melalui jejaring kawasan lindung dan lahan yang dikelola secara berkelanjutan.
Perlindungan Heart of Borneo tidak hanya memberi manfaat bagi hidupan liar. Tetapi juga diharapkan dapat membantu mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan keamanan pangan dan air serta mempertahankan budaya masyarakat lokal dan masyarakat adat di Borneo. Dalam jangka panjang upaya ini diharapkan dapat melindungi Pulau Borneo dari ancaman deforestasi dan dampak dari kekeringan dan kebakaran hutan/lahan.
Apa aksi yang dapat Anda lakukan untuk membantu menyelamatkan orangutan?
- Jangan membeli atau memelihara orangutan di rumah. Tempat tinggal orangutan adalah di hutan, bukan di rumah.
- Mengajak orang lain di sekitar kita untuk peduli pada kelestarian orangutan.
- Jangan beli produk yang berasal dari hutan, perkebunan kelapa sawit yang tidak dikelola dengan prinsip ramah lingkungan (berkelanjutan).
- Batasi dan berhemat dalam penggunaan kertas dalam rangka mengurangi penebangan pohon untuk konsumsi kertas.
- Membantu lembaga-lembaga pelestarian orangutan misalnya dengan berdonasi. wwf.id/sahabatorangutan
Tahun 2017 merupakan tahun kebebasan orangutan. Slogan tersebut dicanangkan Borneo Orangutan Survival Foundation(BOSF)atau Yayasan Borneo Orangutan Survival, meski di lembaga tersebut masih ada ratusan orangutan yang hidup di kandang rehabilitasi.
“Apa yang menyebabkan orangutan tersebut harus dikandangkan? Jawabannya cuma satu, karena kita tidak punya hutan. Mau tidak mau, mereka harus menunggu hingga waktu pelepasliaran tiba,” kata Jamartin Sihite, CEO BOSF.
Tidak hanya di Samboja Lestari (Kalimantan Timur), di Nyaru Menteng (Kalimantan Tengah) juga masih ada puluhan orangutan yang terpaksa hidup di kandang. Usia mereka bahkan ada yang puluhan tahun. Namun, pelepasliaran tidak bisa dilakukan terburu lantaran kondisi hutan yang terus berkurang.
“Siapa sih yang tahan menatap mata-mata orangutan dalam kandang. Mereka kalau bisa bicara akan berkata, kapan saya dilepasliarkan. Tapi mau gimana lagi, selagi saya berjuang mencari hutan, mereka harus menunggu di kandang,” sebutnya.
September 2017 mendatang, Jamartin akan mengambil langkah nekat. Dia berencana menghancurkan satu blok kandang orangutan di Samboja Lestari guna melepasliarkan primata itu ke hutan. “Saya sudah dapat hutan pinjaman, statusnya hutan perusahaan sawit. Kami akan jadikan itu hutan transit, selama lima tahun orangutan bisa tinggal di sana sebelum kembali ke hutan lindung.”
Banyak yang menyayangkan sikap tersebut, namun Jamartin menegaskan pihaknya ingin menjadi yayasan konservasi orangutan terkecil di Indonesia. “Kalau tidak dihancurkan, orang akan melihat BOSF tidak perlu hutan. Tidak ada istilahnya orangutan hidup di kandang, namanya juga orangutan ya harus di hutan,” jelasnya.
Sempat terhenti
Jamartin berkisah, sebelum memiliki Hutan Kehje Sewen di Kutai Timur (Kulimantan Timur), program pelepasliaran BOSF sempat terhenti 10 tahun. Kala itu, hutan di pusat rehabilitasi sudah tidak tersedia, tapi yayasan harus menampung orangutan yatim piatu yang terus berdatangan. Akibatnya fatal, ratusan orangutan menumpuk di hutan rehabilitasi, menanti waktu pelepasliaran.
“10 tahun kami berusaha, akhirnya dapat di Kutai Timur. Tapi ternyata, hutan untuk orangutan tidak mudah dipinjam. Kami harus bayar, dan itu tidak murah. Sekarang kalau ada yang tanya, kenapa orangutan dikembalikan ke hutan tapi harus bayar? Jangan tanya saya,” katanya
Pelan tapi pasti, BOSF berhasil mengatasi masalah tersebut. Namun hutan di Kalimantan Timur yang kami kelola saat ini, Hutan Kehje Sewen, ternyata masih belum dapat menampung 100 individu orangutan. “Terus terang, kami butuh dukungan untuk mendapatkan hutan lain. Kita masih butuh jasa lingkungan dari hutan seperti air bersih, udara bersih, dan keseimbangan iklim. Artinya, kita butuh orangutan hidup di hutan, karena mereka meningkatkan dan menjaga kualitas hutan. Untuk bisa menjaga mereka lestari di hutan, kita butuh menjaga hutan agar tidak dirusak.”
Untuk membebaskan semua orangutan dari dalam kandang BOSF membuat sejumlah pulau di Samboja Lestari yang dibentuk seperti hutan. Ruang geraknya memang terbatas, tapi setidaknya orangutan tersebut tidak terpenjara sebagaimana di kandang. Bila berhasil, rencananya akan dipulangkan ke Kehje Sewen.Menurut Jamartin, pulau pra-pelepasliaran itu, tujuh pulau kecil dan empat pulau besar. Kapasitas total tujuh pulau tersebut sekitar 30 individu. Setiap orangutan yang telah lulus Sekolah Hutan, ditempatkan di salah satu pulau ini sebelum dilepasliarkan di hutan. Di sanai mereka hidup di udara terbuka sementara teknisi memantau kemajuan dan adaptasinya. Pulau-pulau ini juga dipergunakan sebagai wilayah transisi orangutan yang telah lama mendekam di kompleks kandang untuk sebelum dilepasliarkan.
“2017, bagi kami tahun #OrangutanFreedom, dan tahun ini kami telah melepasliarkan 13 orangutan ke Hutan Kehje Sewen di Kutai Timur. Cita-cita kami menjadi yayasan konservasi orangutan terkecil di Indonesia, walau faktanya hingga hari ini kami masih menjadi yayasan konservasi orangutan terbesar di dunia,” kata dia
Penghargaan Dunia
Beberapa waktu lalu, Jamartin Sihite mewakili BOSF menerima penghargaan dunia untuk nominasi konservasi terbaik. BOSF mengalahkan 800 organisasi nominasi animal category.
“Saya juga tidak menyangka. Ini penghargaan terbaik, untuk yayasan terbaik di seluruh dunia yang berada di Indonesia,” sebutnya.
BOSF memenangkan award karena kebebasan orangutan dari dalam kandang. BOSF bekerja dalam misi penyelamatan orangutan dari hulu sampai hilir, rehabilitasi hingga pelepasliaran di alam bebas. “Mereka melihat kita bekerja sebagai organisasi, bukan individu. Jumlah orangutan yang kita urus banyak tapi kita utamakan animal welfare. Kita membebaskan orangutan ke habitat aslinya.”
Jamartin menegaskan, rehabilitasi bukan solusi untuk konservasi orangutan. Kehidupan orangutan yang benar itu di hutan dan hutannya harus kita lestarikan. “Kita kembalikan semua kebebasan orangutan, di hutan. Untuk itu, konservasi orangutan harus pada tempatnya, hutan,” pungkasnya.
Sumber Referensi : Mogabay Indonesia, Ugm.Org,Wwf.Indonesia