Gajah merupakan hewan herbivora yang dapat ditemui di berbagai habitat, seperti sabana, hutan, gurun, dan rawa-rawa. Mereka cenderung berada di dekat air. Gajah dianggap sebagai spesies kunci karena dampaknya terhadap lingkungan. Hewan-hewan lain cenderung menjaga jarak dari gajah, dan predator-predator seperti singa, harimau. hyena, dan anjing liar biasanya hanya menyerang gajah muda. Gajah betina cenderung hidup dalam kelompok keluarga, yang terdiri dari satu betina dengan anak-anaknya atau beberapa betina yang berhubungan dengan anak-anak mereka. Kelompok ini dipimpin oleh individu gajah yang disebut matriark, yang biasanya merupakan betina tertua. Gajah memiliki struktur kelompok fisi-fusi, yaitu ketika kelompok-kelompok keluarga bertemu untuk bersosialisasi. Gajah jantan meninggalkan kelompok keluarganya ketika telah mencapai masa pubertas, dan akan tinggal sendiri atau bersama jantan lainnya. Jantan dewasa biasanya berinteraksi dengan kelompok keluarga ketika sedang mencari pasangan dan memasuki tahap peningkatan testosteron dan agresi yang disebut musth, yang membantu mereka mencapai dominasi dan keberhasilan reproduktif. Anak gajah merupakan pusat perhatian kelompok keluarga dan bergantung pada induknya selama kurang lebih tiga tahun. Gajah dapat hidup selama 70 tahun di alam bebas. Mereka berkomunikasi melalui sentuhan, penglihatan, penciuman, dan suara; gajah menggunakan infrasuara dan komunikasi seismik untuk jarak jauh. Kecerdasan gajah telah dibandingkan dengan kecerdasan primata dan cetacea. Mereka tampaknya memiliki kesadaran diri dan menunjukkan empati kepada gajah lain yang hampir atau sudah mati.
Gajah afrika digolongkan sebagai spesies yang rentan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), sementara gajah asia diklasifikasikan sebagai spesies terancam. Salah satu ancaman utama bagi gajah adalah perdagangan gading yang memicu perburuan liar. Ancaman lain adalah kehancuran habitat dan konflik dengan penduduk lokal. Gajah digunakan sebagai hewan pekerja di Asia. Dulu mereka pernah digunakan untuk perang; kini, gajah seringkali dipertontonkan di kebun binatang dan sirkus. Gajah dapat dengan mudah dikenali dan telah digambarkan dalam seni, cerita rakyat, agama, sastra, dan budaya populer.Gajah tergolong dalam familia Elephantidae, satu-satunya familia dalam ordo Proboscidea yang masih ada. Kerabat terdekat yang masih ada meliputi sirenia (dugong dan lembu laut) dan hyrax; mereka berada dalam klad yang sama, yaitu klad Paenungulata dalam superordo Afrotheria. Gajah dan sirenia juga dikelompokan dalam klad Tethytheria. Secara tradisional, terdapat dua spesies gajah yang diakui, yaitu gajah afrika (Loxodonta africana) dan gajah asia (Elephas maximus). Gajah afrika memiliki telinga yang besar, punggung yang cekung, kulit yang lebih berkerut, daerah perut yang miring, dan dua perpanjangan yang seperti jari di ujung belalai. Telinga gajah asia lebih kecil, punggungnya cembung, kulitnya lebih halus, daerah perutnya horizontal dan kadang-kadang melengkung di tengah, dan ujung belalainya hanya memiliki satu perpanjangan. Bubungan di gigi geraham gajah asia lebih sempit bila dibandingkan dengan geraham gajah afrika yang berbentuk seperti permata.
Gajah asia juga memiliki benjolan di bagian dorsal kepalanya dan tanda depigmentasi di kulitnya. Secara umum, gajah afrika lebih besar dari gajah asia. Zoolog Swedia Carl Linnaeus pertama kali mendeskripsikan genus Elephas dan seekor gajah dari Sri Lanka dengan nama binomial Elephas maximus pada tahun 1758. Kemudian, pada tahun 1798, Georges Cuvier mengklasifikasikan gajah india dengan nama binomial Elephas indicus. Zoolog Belanda Coenraad Jacob Temminck mendeskripsikan gajah sumatra pada tahun 1847 dengan nama binomial Elephas sumatranus, sementara zoolog Inggris Frederick Nutter Chasen mengklasifikasikan ketiganya sebagai subspesies gajah asia pada tahun 1940. Subspesies gajah asia memiliki perbedaan warna dan kadar depigmentasi. Gajah sri lanka (Elephas maximus maximus) menghuni Sri Lanka, gajah india (E. m. indicus) berasal dari daratan asia (di anak benua India dan Indochina), dan gajah sumatra (E. m. sumatranus) dapat ditemui di pulau Sumatra. Salah satu subspesies yang diperdebatkan, yaitu gajah borneo, tinggal di Borneo utara dan lebih kecil dari subspesies lain. Gajah ini juga memiliki telinga yang lebih besar, ekor yang lebih panjang, dan taring yang lebih lurus dari gajah biasa. Zoolog Sri Lanka Paules Edward Pieris Deraniyagala pada tahun 1950 mendeskripsikannya dengan nama trinomial Elephas maximus borneensis, dengan menjadikan ilustrasi di National Geographic sebagai spesimen tipenya. Gajah ini kemudian digolongkan sebagai E. m. indicus atau E. m. sumatranus. Analisis genetik pada tahun 2003 menunjukkan bahwa nenek moyang gajah borneo terpisah dari populasi di daratan Asia sekitar 300.000 tahun yang lalu. Namun, penelitian pada tahun 2008 mengindikasikan bahwa gajah borneo tidak berasal dari pulau tersebut, namun dibawa oleh Sultan Sulu dari Jawa sebelum tahun 1521.
Gajah afrika pertama kali dinamai oleh naturalis Jerman Johann Friedrich Blumenbach pada tahun 1797 dengan nama binomial Elephas africana. Genus Loxodonta diyakini dinamai oleh Georges Cuvier pada tahun 1825. Cuvier mengejanya Loxodonte dan seorang penulis anonim meromanisasi ejaan tersebut menjadi Loxodonta; International Code of Zoological Nomenclature telah mengakui perubahan ini. Pada tahun 1942, 18 subspesies gajah afrika telah diakui oleh Henry Fairfield Osborn, namun data morfologis telah mengurangi jumlah subspesies yang terklasifikasi, dan pada tahun 1990-an hanya terdapat dua subspesies yang diakui, yaitu gajah semak afrika (L. a. africana) dan gajah hutan afrika (L. a. cyclotis); telinga gajah hutan afrika lebih kecil dan bundar, belalaiNya lebih kurus dan lurus, dan habitatnya terbatas pada wilayah berhutan di Afrika Barat dan Tengah. Jurnal yang diterbitkan pada tahun 2000 memberikan argumen agar kedua subspesies tersebut diangkat menjadi spesies L. africana dan L. cyclotis berdasarkan morfologi tengkorak.
Penelitian DNA yang diterbitkan pada tahun 2001 dan 2007 juga menunjukkan bahwa mereka adalah spesies yang berbeda, sementara penelitian pada tahun 2002 dan 2005 menyimpulkan bahwa keduanya adalah spesies yang sama. Akan tetapi, hasil penelitian yang diterbitkan pada tahun 2010 mendukung pengubahan status menjadi spesies. Hingga tahun 2011, penamaan gajah afrika dalam taksonomi masih diperdebatkan. Edisi ketiga Mammal Species of the World menggolongkan gajah semak afrika dan gajah hutan afrika sebagai spesies yang terpisah, dan tidak memasukkan subspesies untuk Loxodonta africana. Pendekatan ini tidak diikuti oleh World Conservation Monitoring Centre atau IUCN, yang menganggap L. cyclotis sebagai sinonim dari L. africana. Beberapa bukti menunjukkan bahwa gajah di Afrika Barat adalah spesies yang terpisah, walaupun hal ini masih diperdebatkan. Gajah kerdil di Cekungan Kongo yang diduga merupakan spesies terpisah (Loxodonta pumilio) kemungkinan merupakan gajah hutan yang memiliki ukuran kecil dan/atau kematangan awal karena keadaan lingkungan.
1. Gajah India (Elephas maximus Indicus)
Gajah india adalah salah satu subspesies gajah asia. Gajah ini dapat ditemui di India, Nepal, Bangladesh, Bhutan, Myanmar, Thailand, Semenanjung Malaya, Laos, Tiongkok, Kamboja dan Vietnam. Bukti arkeologi menunjukkan bahawa gajah India telah dijinakkan di lembah sungai Indus sekitar 4.000 tahun dahulu. Menjinakkan tidak serupa dengan domestikasi. Gajah sulit didomestikasi akibat perangai bengisnya, makanannya yang mahal dan pertumbuhan yang terlalu lama (15 tahun untuk menjadi dewasa). Gajah india dijinakkan untuk pertanian. Pengunaan gajah perang dalam militer bermula sekitar 1100 SM dan disebut dalam beberapa kitab suci berbahasa Sansekerta.
Semenjak tahun 1986, Elephas maximus tergolong sebagai spesies yang terancam punah dan populasinya telah berkurang sebanyak 50% dalam tiga generasi. Gajah asia terancam oleh kehancuran, degradasi dan fragmentasi habitat.
2. Gajah Srilangka(Elephas maximus maximus)
Gajah sri lanka (Elephas maximus maximus) adalah salah satu dari tiga subspesies gajah asia. Subspesies ini hidup di pulau Sri Lanka. Semenjak tahun 1986, Elephas maximus telah diklasifikasikan sebagai spesies yang terancam punah oleh IUCN karena populasinya mengalami penurunan sebesar 50% dalam tiga generasi (diperkirakan 60-75 tahun). Gajah ini terutama terancam oleh kehancuan dan fragmentasi habitat.Elephas maximus maximus adalah subspesies tipe gajah asia yang pertama kali dideskripsikan oleh Carl Linnaeus dengan nama binominal Elephas maximus pada tahun 1758.Populasi gajah sri lanka saat ini terbatas di wilayah kering di utara, timur, dan tenggara Sri Lanka. Gajah ini dapat ditemui di Taman Nasional Udawalawe, Taman Nasional Yala, Taman Nasional Lunugamvehera, Taman Nasional Wilpattu dan Taman Nasional Minneriya, tetapi mereka juga tinggal di luar wilayah yang dilindungi. Diperkirakan populasi gajah sri lanka merupakan populasi gajah terpadat di Asia. Konflik antara manusia dengan gajah semakin memanas akibat konversi habitat gajah menjadi permukiman dan lahan pertanian.
3. Gajah Sumatera (Elaphas maximus sumatranus)
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) adalah subspesies dari gajah asia yang hanya berhabitat di pulau Sumatera. Gajah sumatera berpostur lebih kecil daripada subspesies gajah india. Populasinya semakin menurun dan menjadi spesies yang sangat terancam. Sekitar 2000 sampai 2700 ekor gajah sumatera yang tersisa di alam liar berdasarkan survei pada tahun 2000. Sebanyak 65% populasi gajah sumatera lenyap akibat dibunuh manusia, dan 30% kemungkinan dibunuh dengan cara diracuni oleh manusia. Sekitar 83% habitat gajah sumatera telah menjadi wilayah perkebunan akibat perambahan yang agresif.
Gajah sumatera adalah mamalia terbesar di Indonesia, beratnya mencapai 6 ton dan tumbuh setinggi 3,5 meter pada bahu. Periode kehamilan untuk bayi gajah sumatera adalah 22 bulan dengan umur rata-rata sampai 70 tahun. Herbivora raksasa ini sangat cerdas dan memiliki otak yang lebih besar dibandingkan dengan mamalia darat lain. Telinga yang cukup besar membantu gajah mendengar dengan baik dan membantu mengurangi panas tubuh. Belalainya digunakan untuk mendapatkan makanan dan air dengan cara memegang atau menggenggam bagian ujungnya yang digunakan seperti jari untuk meraup.
4. Gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis)
Gajah Kalimantan adalah subspesies dari gajah asia dan dapat ditemukan di Kalimantan Utara dan Sabah. Asal usul gajah kalimantan masih merupakan kontroversi. Terdapat hipotesis bahwa mereka dibawa ke pulau Kalimantan. Pada tahun 2003, penelitian DNA mitokondria menemukan bahwa leluhurnya terpisah dari populasi daratan selama pleistosen, ketika jembatan darat yang menghubungkan Kalimantan dengan kepulauan Sunda menghilang 18.000 tahun yang lalu.Spesies ini kini berstatus kritis akibat hilangnya sumber makanan, perusakan rute migrasi dan hilangnya habitat mereka. Dilaporkan pada tahun 2007 hanya terdapat sekitar 1.000 gajah.
5. Gajah Semak Afrika (Loxodonta africana)
Gajah afrika adalah spesies hewan dari genus Loxodonta, 1 dari 2 genus yang masih hidup dalam Elephantidae. Meskipun umum dipercaya bahwa genus dinamai oleh Georges Cuvier pada tahun 1825, Cuvier mengejanya Loxodonte. Seorang penulis tak dikenal meromanisasikan ejaan itu menjadi Loxodonta dan diakui oleh ICZN. Fosil Loxodonta hanya ditemukan di Afrika, tempat mereka berkembang biak dari pertengahan Pliosen. Gajah afrika berukuran lebih besar dari gajah asia termasuk yang terbesar di dunia, dengan berat badan mencapai 6.000 kg
Gajah semak afrika atau gajah sabana afrika (Loxodonta africana) adalah yang terbesar dari dua spesies gajah afrika. Gajah ini dan gajah hutan afrika telah diklasifikasikan sebagai spesies tunggal, dikenal sebagai gajah afrika. Beberapa otoritas masih menganggap bukti-bukti yang kini tersedia tidak cukup untuk memecah gajah afrika menajdi dua spesies yang berbeda. Hewan ini juga dikenal sebagai gajah semak.
6. Gajah hutan afrika (Loxodonta cyclotis)
Gajah hutan afrika (Loxodonta cyclotis) adalah spesies gajah yang tinggal di hutan di Cekungan Kongo. Gajah ini merupakan spesies gajah terkecil, tetapi merupakan hewan darat terbesar ketiga. Gajah hutan afrika dan gajah semak afrika dianggap sebagai satu spesies hingga penelitian genetik menunjukkan bahwa perbedaan genetik mereka cukup besar.
Gajah hutan afrika memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dan warna yang lebih gelap bila dibandingkan dengan gajah semak afrika, dan mereka juga memiliki telinga yang lebih kecil dan bundar.
Konservasi
Gajah afrika didaftarkan sebagai spesies yang rentan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2008, sementara status dua subspesies gajah afrika tidak dinilai secara independen. Pada tahun 1979, terdapat kurang lebih 1,3 juta gajah di Afrika, dan batasan populasi sebesar 3,0 juta. Sementara itu, populasi pada tahun 1989 diperkirakan sebesar 609.000, dengan 277.000 di Afrika Tengah, 110.000 di Afrika Timur, 204.000 di Afrika Selatan, dan 19.000 di Afrika Barat. Diperkirakan sekitar 214.000 gajah hidup di hutan hujan, yang lebih rendah dari yang diduga sebelumnya. Dari tahun 1977 hingga 1989, populasi gajah berkurang sebanyak 74% di Afrika Timur. Setelah tahun 1987, penurunan populasi gajah semakin cepat, dan populasi gajah di sabana dari Kamerun hingga Somalia jatuh sebesar 80%. Gajah hutan afrika mengalami penurunan sebesar 43%. Di sisi lain, tren populasi di Afrika Selatan bermacam-macam: di beberapa tempat di Zambia, Mozambik, dan Angola, jumlah populasi mengalami penurunan, sementara di Botswana dan Zimbabwe, populasi gajah bertambah, dan di Afrika Selatan populasinya stabil. Namun, penelitian pada tahun 2005 dan 2007 menunjukkan bahwa populasi di Afrika Timur dan Selatan mengalami peningkatan sebesar 4,0% setiap tahunnya. Akibat luasnya persebaran gajah, populasi gajah afrika masih sulit diperkirakan dan terdapat unsur tebakan. IUCN memperkirakan terdapat sekitar 440.000 individu pada tahun 2012.
Gajah afrika memperoleh perlindungan secara hukum di negara habitat mereka, tetapi 70% persebarannya berada di luar wilayah yang dilindung. Upaya konservasi yang berhasil di beberapa wilayah menghasilkan kepadatan populasi yang tinggi. Pada tahun 2008, jumlah lokal dikontrol melalui kontrasepsi atau translokasi. Pembantaian berdasarkan kriteria tertentu (culling) berakhir pada tahun 1988 setelah Zimbabwe menghentikan praktik tersebut. Pada tahun 1989, gajah afrika dimasukan dalam Apendiks I oleh Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), sehingga perdagangan gajah afrika menjadi ilegal. Status Apendiks II (yang memperbolehkan perdagangan terbatas) diberikan kepada gajah di Botswana, Namibia, dan Zimbabwe pada tahun 1997, dan Afrika Selatan pada tahun 2000. Di beberapa negara, perburuan gajah untuk memperoleh trofi diperbolehkan; Afrika Selatan, Botswana, Gabon, Kamerun, Mozambik, Namibia, Tanzania, Zambia, dan Zimbabwe menetapkan kuota ekspor CITES untuk trofi gajah.
Pada tahun 2008, IUCN mendaftarkan gajah asia sebagai spesies terancam karena penurunan populasi sebesar 50% dalam 60–75 tahun terakhir, sementara CITES memasukannya ke dalam Apendiks I. Gajah asia pernah tersebar dari Suriah dan Irak (subspesies Elephas maximus asurus) hingga Tiongkok (hingga Sungai Kuning) dan Jawa. Gajah asia kini telah punah di wilayah-wilayah tersebut, dan persebarannya saat ini sangat terpecah. Jumlah populasi gajah asia diperkirakan sebesar 40.000–50.000, walaupun perkiraan ini merupakan perkiraan kasar. Meskipun jumlah gajah asia secara keseluruhan mengalami penurunan (terutama di Asia Tenggara), populasi di Ghat Barat tampaknya mengalami peningkatan.
Ancaman
Perburuan untuk mengambil gading, daging, dan kulit merupakan salah satu ancaman terbesar bagi keberlangsungan gajah. Dalam sejarah, beberapa peradaban membuat ornamen dan karya seni lain dari gading gajah, dan penggunaannya menyaingi emas. Perdagangan gading menjadi salah satu penyebab penurunan populasi gajah afrika pada abad ke-20. Hal ini memicu larangan impor gading yang dimulai oleh Amerika Serikat pada Juni 1989, yang kemudian diikuti oleh negara-negara Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang. Sementara itu, Kenya menghancurkan semua persediaan gadingnya. CITES memberlakukan larangan perdagangan gading pada Januari 1990. Setelah larangan tersebut ditetapkan, jumlah pengangguran meningkat di India dan Cina, karena secara ekonomi industri gading merupakan industri yang penting. Di sisi lain, Jepang dan Hong Kong, yang juga merupakan bagian dari industri, mampu beradaptasi dan tidak terkena dampak buruk. Zimbabwe, Botswana, Namibia, Zambia, dan Malawi ingin melanjutkan perdagangan gading dan hal tersebut diperbolehkan, tetapi hanya jika gajah tersebut mati secara alami atau merupakan hasil culling.
Berkat larangan ini, populasi gajah di Afrika mulai pulih. Pada Januari 2012, ratusan gajah di Taman Nasional Bouba Njida, Kamerun, dibunuh oleh penyerang dari Chad. Peristiwa ini disebut-sebut sebagai "salah satu pembunuhan terkonsentrasi terburuk" semenjak diberlakukannya larangan perdagangan gading. Sementara itu, gajah asia tidak terlalu rentan terhadap perdagangan gading karena gajah betina umumnya tidak memiliki taring. Namun, sejumlah gajah telah dibunuh untuk diambil gadingnya di beberapa wilayah, seperti di Taman Nasional Periyar di India.
Ancaman lain terhadap gajah adalah kehancuran dan fragmentasi habitat. Gajah asia hidup di wilayah yang sangat padat. Karena mereka membutuhkan lebih banyak wilayah dibanding hewan darat simpatrik lainnya, merekalah yang pertama kali merasakan dampak keberadaan manusia. Bahkan dalam beberapa kasus yang ekstrem, habitat gajah terbatas pada hutan kecil yang dikelilingi oleh wilayah yang didominasi oleh manusia. Gajah tidak dapat hidup berdampingan dengan manusia di wilayah pertanian karena besar tubuh dan kebutuhan makanan mereka. Pada umumnya gajah merusak dan memakan tanaman petani, sehingga memicu konflik dengan manusia, dan akibatnya ratusan gajah dan manusia telah mati. Mitigasi konflik merupakan salah satu unsur penting dalam konservasi. Salah satu usulan yang diajukan adalah penyediaan ‘koridor urban’ yang memungkinkan gajah mengakses wilayah penting.
Serangan
Gajah dapat menunjukkan perilaku agresif dan melancarkan tindakan yang destruktif terhadap manusia. Di Afrika, kelompok gajah remaja menghancurkan rumah-rumah di desa-desa setelah dilakukannya pembantaian gajah pada tahun 1970-an dan 1980-an. Serangan ini diyakini merupakan pembalasan dendam. Di India, gajah jantan seringkali memasuki desa pada malam hari, sehingga menghancurkan rumah-rumah dan membunuh beberapa warga. Antara tahun 2000 hingga 2004, gajah menewaskan sekitar 300 orang di Jharkhand, sementara dari tahun 2001 hingga 2006, 239 orang di Assam dibunuh oleh gajah.Penduduk setempat melaporkan bahwa beberapa gajah tampak mabuk selama terjadinya serangan, walaupun para pejabat meragukan hal ini. Gajah yang diduga mabuk menyerang sebuah desa di India untuk kedua kalinya pada Desember 2002, sehingga menewaskan enam orang, yang kemudian dibalas oleh warga dengan membunuh 200 gajah.
Sumber Referensi : Wikipedia Indonesia