"SELAMAT DATANG DI BLOG GEOGRAFI LINGKUNGAN""(EKOGEO)"

Friday, July 27, 2018

GERHANA BULAN TOTAL 28 JULI 2018 TERLAMA DI ABAD KE 21

   Peristiwa gerhana, baik itu gerhana bulan ataupun gerhana matahari, sebenarnya merupakan peristiwa langit yang tergolong biasa saja dalam astronomi. Tidak ada yang spesial, melainkan hanya ditutupinya matahari oleh bulan atau bulan oleh bayangan bumi. Namun, di era modern seperti sekarang ini, rupanya masih banyak masyarakat kita yang berpikiran bahwa peristiwa gerhana adalah peristiwa yang tidak biasa. Hal ini pula yang mungkin membuat sebagian dari kita bertanya-tanya; mengapa sekarang sering terjadi gerhana? Apakah ini tanda kiamat?
    Perlu diketahui, peristiwa gerhana bukan termasuk dalam peristiwa langka. Di tahun 2018 ini saja, setidaknya ada lima kali gerhana yang terjadi, dua gerhana bulan dan tiga gerhana matahari. Namun, tidak semuanya teramati di Indonesia. 

Apa Itu Gerhana? 
   
Gerhana Bulan (Supermoon)
    Dalam astronomi, gerhana adalah peristiwa yang terjadi ketika sebuah benda angkasa bergerak ke dalam bayangan sebuah benda angkasa lain. Di Bumi, peristiwa ini terjadi pada dua benda terdekat planet kita, yakni matahari dan bulan, dan hanya dapat terjadi ketika mereka hampir berada dalam garis lurus, atau yang dikenal sebagai posisi syzygy.
    Gerhana matahari misalnya, hanya bisa terjadi ketika bulan, dalam mengelilingi bumi, melintasi persimpangan antara matahari dan bumi. Sementara gerhana bulan hanya bisa terjadi ketika bumi secara tepat melintasi persimpangan antara matahari dan bulan. 
   Gerhana matahari bisa terjadi di fase bulan baru, sementara gerhana bulan hanya terjadi di fase bulan purnama. Penyebab tidak adanya gerhana matahari tiap fase bulan baru dan tidak adanya gerhana bulan tiap fase bulan purnama adalah; bidang orbit bulan miring sekitar lima derajat terhadap ekliptika bumi.

Seberapa Sering Gerhana Terjadi?
Terjadinya Gerhana Matahari
   
Gerhana Matahari
    Ada sebuah kesalahpahaman yang populer di masyarakat yang menganggap bahwa fenomena gerhana matahari adalah kejadian langka. Faktanya, justru sebaliknya. Sekitar sekali setiap 18 bulan (rata-rata), gerhana matahari total selalu terjadi dan bisa terlihat dari beberapa tempat di permukaan Bumi. Mungkin, gerhana matahari dianggap langka karena tidak sering terjadi di Indonesia. Terakhir kali terjadi pada 9 Maret 2016, gerhana matahari baru terjadi lagi di Indonesia pada 26 Desember 2019. Tapi, jarangnya peristiwa gerhana matahari di Indonesia bukan berarti tidak terjadi gerhana matahari di tempat lain. 
    Pada 13 Juli 2018 beberapa hari yang lalu, gerhana matahari terjadi. Peristiwa gerhana matahari parsial tersebut bisa teramati di pesisir selatan Australia, Selandia Baru, hingga Antartika. Indonesia? Tidak kebagian. Bahkan informasi gerhana tersebut saja tidak tersebar layaknya hoaks bumi datar, atau hoaks aphelion yang membuat suhu mendingin. 

Bagaimana dengan gerhana bulan?
    Menurut perhitungan yang dilakukan oleh ahli matematika astronomi, Jean Meeus dan Fred Espenak, dalam periode 5.000 tahun antara tahun 2000 SM hingga 3000 M, akan ada 12.064 kali gerhana bulan. Dari jumlah ini, 3.479 di antaranya merupakan gerhana bulan total, dan sisanya akan menjadi gerhana bulan parsial atau gerhana bulan penumbra. Bila dihitung lagi, rata-rata akan terjadi 2 sampai 3 gerhana bulan per tahun! Dengan kata lain, akan terjadi peristiwa gerhana bulan yang bisa terlihat di sisi malam Bumi sekitar sekali setiap 17 bulan atau lebih. 
   
Gambaran terjadinya tabrakan Benda-benda Langit
    Tapi, mengapa gerhana bulan juga dianggap langka? Saya rasa alasannya sama: gerhana bulan tidak sering terjadi di Indonesia, sehingga kita cenderung menganggap gerhana yang belakangan terjadi ini merupakan sebuah keanehan. Padahal, gerhana hanyalah peristiwa biasa. Jadi, tidak perlu panik dengan gerhana yang sering terjadi sekarang ini, karena memang gerhana adalah peristiwa yang tergolong sering terjadi, kita saja yang kurang wawasan dan gemar mengaitkan gerhana terhadap suatu hal yang mistis. Kecuali apabila lintasan bumi dan Bulan tiba-tiba berubah dan menjadi satu arah yang berakibat terjadinya tabrakan antar Bumi dan Bulan, yang tentunya prediksi ini akan menyebabkan kehancuran pada keduanya dan memusnahkan segala kehidupan di planet Bumi. Hanya Allah, Tuhan yang maha tahu yang dapat merubah skenario pergerakan benda-benda langit yang berakibat terjadinya kiamat, akhir dari kehidupan !

Gerhana Bulan Total 28 Juli 2018
    Pada Tahun 2018 ini, di Indonesia mengalami dua kali Gerhana Bulan Total, yaitu pada 31 Januari 2018 yang lalu dan malam nanti tanggal 28 Juli 2018. Namun ada dua perbedaan pada dua kejadian gejala alam langka di Indonesia ini. Perbedaan pertama antara gerhana Bulan 31 Januari dengan 28 Juli 2018 adalah, waktu kejadiannya. Gerhana Bulan 31 Januari 2018 6 bulan lalu terjadi di awal malam, bahkan mulai dari senja. Sementara gerhana Bulan 28 Juli terjadi selepas tengah malam. Dengan begitu, kita harus begadang untuk mengamatinya. Perbedaan kedua mungkin adalah jarak Bulan dengan Bumi. Pada gerhana Bulan 31 Januari 2018, Bulan berada di terdekat dengan Bumi, atau yang dalam astronomi dikenal sebagai lunar perigee. Sementara untuk gerhana Bulan 28 Juli 2018, Bulan akan berada di jarak terjauhnya dari Bumi, yang mana dikenal sebagai lunar apogee.
    Apa dampaknya? Diameter sudut Bulan akan lebih kecil. Walau begitu, durasi totalitasnya akan lebih panjang, yakni 1 jam 43 menit. Durasi ini merupakan durasi totalitas gerhana Bulan terpanjang di abad ke-21. Durasi yang panjang ini disebabkan karena Bulan akan melintasi bagian tengah bayangan umbra Bumi, sehingga Bulan akan butuh waktu yang lebih lama untuk meninggalkan umbra.

    Gerhana Bulan ini tidak hanya teramati di Indonesia, melainkan juga di seluruh sisi malam Bumi, yakni seluruh Asia, Australia, Eropa, dan Afrika. Sementara untuk Benua Amerika, untuk gerhana kedua ini kurang beruntung, mereka tidak kebagian. Selain menjadi gerhana dengan durasi totalitas terpanjang abad ini, ia juga akan terjadi di awal musim kemarau. Dengan begitu, cuaca berpotensi lebih cerah ketimbang cuaca saat pengamatan gerhana Bulan total 31 Januari 2018 yang lalu.
   Kita bisa mulai mengamatinya mulai pukul 00.14 WIB, saat Bulan purnama mulai memasuki bayangan penumbra Bumi. Selanjutnya, gerhana parsial/sebagian bisa diamati mulai pukul 01.24 WIB. Sekitar satu jam kemudian, atau tepatnya pukul 02.30 WIB, gerhana total akan dimulai. Bulan akan sepenuhnya masuk bayangan umbra Bumi pada pukul 03.21 WIB, yang mana ini merupakan puncak gerhana total, Bulan sedang merah-merahnya. Gerhana total akan terus berlangsung hingga pukul 04.31 WIB, menyisakan gerhana parsial yang akan berlangsung hingga 05.19 WIB. Kita akan melihat gerhana mulai dari ketika Bulan masih berada di langit sekitar atas kepala hingga Bulan akan terbenam. Dengan begitu, pengamatan disarankan dari lokasi yang pandangan ke arah baratnya luas. Tidak dibutuhkan alat bantu pengamatan untuk melihatnya. Mengamati dengan mata telanjang pun bisa-bisa saja. Namun, penggunaan teleskop akan jauh lebih baik. Anda bisa melihat perubahan yang menakjubkan pada wajah Bulan saat gerhana berlangsung.
    Keistimewaan lain dari gerhana Bulan total 28 Juli 2018 ini adalah, gerhana akan berlangsung berbarengan dengan peristiwa hujan meteor Delta Akuarid dan peristiwa oposisi Mars. Hujan meteor sendiri merupakan peristiwa masuknya puing-puing yang ditinggalkan oleh sebuah komet ke atmosfer Bumi. Ketika komet mendekati Matahari, ia akan menguap, meninggalkan sisa-sisa penguapannya sebagai puing-puing meteoroid kecil di angkasa. Dalam waktu-waktu tertentu, Bumi kita melintasi jalur bekas orbit komet ini, sehingga puing-puing yang berjumlah cukup banyak tadi akan menyala di atmosfer bagaikan hujan meteor.

    Nah, hujan meteor Delta Akuarid sendiri berasal dari Komet 96P Machholz. Bumi akan melintasi jalur bekas orbit komet ini pada 27-28 Juli 2018. Walaupun cahaya Bulan yang terang akan meredupkan meteor-meteor kecil, bukan berarti kita tidak bisa mengamatinya. Meteor-meteor diprediksi sesekali akan melesat di langit saat kita sedang kagum mengamati gerhana. Peristiwa lainnya adalah oposisi Mars. Dalam astronomi, oposisi memiliki arti "berlawanan". Dengan kata lain, Mars akan berada pada titik yang berlawanan dari Matahari di langit Bumi. Hal ini terjadi karena Matahari-Bumi-Mars berada segaris lurus di bidang edar tata surya.
    Oposisi Mars adalah peristiwa di mana Planet Merah akan berada di jarak terdekatnya dengan Bumi, sehingga ia akan tampak lebih terang dari biasanya (tidak, Mars tidak akan muncul sebesar Bulan!). Peristiwa oposisi Mars sendiri terjadi pada tanggal 27 Juli 2018, satu hari sebelum gerhana Bulan total, di mana saat itu jarak antara Mars dan Bumi mencapai 57,6 juta kilometer saja. Sementara itu, Mars baru akan mencapai jarak terdekatnya dengan Bumi pada 31 Juli 2018, yakni pada jarak 57,4 juta kilometer. Mars tidak mencapai jarak terdekat dengan Bumi saat oposisi karena orbitnya yang berbentuk elips. Puncak terangnya Mars bisa dinikmati lima hari dari 27-31 Juli 2018. Yang menarik, pada momen gerhana Bulan total, planet Mars akan berada di samping selatan Bulan persis seperti ilustrasi di bawah ini:

    Jangan lewatkan gerhana Bulan total pada 28 Juli 2018. Sebab bila anda melewatkannya, kita di Indonesia harus menunggu setidaknya tiga tahun lagi untuk melihat peristiwa yang sama.

Gerhana Bulan Total Tahun 2019
    Tepatnya pada 26 Mei 2021, peristiwa gerhana Bulan total akan teramati lagi di Indonesia setelah gerhana Bulan 28 Juli 2018. Sungguh akan jadi penantian yang sangat panjang bila anda sengaja melewatkan gerhana malam ini. 
   Memang, pada 21 Januari 2019 nanti, gerhana Bulan total akan terjadi juga, tapi sayangnya Indonesia tidak kebagian. Negara kita berada di sisi siang hari Bumi sehingga tidak berkesempatan melihat gerhana Bulan karena Bulan ada di nadir.
Berikut infografik gerhana Bulan total 21 Januari 2019:

   Dari infografik di atas, kita bisa melihat bahwa peta Indonesia diarsir hitam. Itu tandanya, kita masuk ke area yang tidak kebagian gerhana Bulan total 21 Januari 2019. Hanya Benua Amerika, Afrika, Eropa, Asia Barat, dan Timur Tengah saja yang berkesempatan mengamatinya. Pada saat gerhana Bulan total 21 Januari 2019 dimulai (yakni saat kontak pertama Bulan memasuki bayangan umbra), Indonesia sudah pagi menjelang siang hari, tepatnya pukul 10:33 WIB, yang mana saat itu Bulan sudah tidak ada lagi di langit, terbenam sejak Matahari terbit. Alhasil, kita hanya bisa "mengamatinya" lewat siaran langsung daring dari negara-negara yang berkesempatan melihatnya.

Gerhana Bulan Total Tahun 2021
Lalu, bagaimana dengan gerhana Bulan total 26 Mei 2021?

    Dilihat dari infografik di atas, Indonesia masuk dalam wilayah arsiran putih hingga abu-abu muda. Itu artinya, kita berkesempatan melihat gerhana ini dari awal malam. Tapi, berbeda dengan gerhana Bulan total 28 Juli 2018 yang bisa diamati dari awal fase gerhana hingga gerhana berakhir, gerhana 26 Mei 2021 ini hanya bisa diamati mulai fase gerhana parsial untuk Indonesia timur dan mulai fase gerhana total untuk Indonesia bagian tengah dan barat.
    Gerhana Bulan total 26 Mei 2021 terjadi saat Bulan baru saja terbit di Indonesia. Jadi, pandangan ke arah timur harus terbebas dari bangunan tinggi atau pengunungan. Gerhana ini dimulai pukul 16:44 WIB, yaitu saat Bulan masuk ke bayangan umbra. Puncak gerhana Bulan 26 Mei 2021 akan terjadi pukul 18:18 WIB, lalu gerhana akan berakhir saat Bulan meninggalkan bayangan penumbra Bumi pada pukul 20:49 WIB.

Selain Gerhana Total
    Bila gerhana Bulan total baru akan terjadi lagi tiga tahun dari sekarang, Indonesia masih kebagian gerhana Bulan parsial dan gerhana Bulan penumbral sambil menunggu gerhana 26 Mei 2021 terjadi.Gerhana-gerhana tersebut terjadi pada 17 Juli 2019 (gerhana parsial), 11 Januari 2020 (gerhana penumbral), 6 Juni 2020 (gerhana penumbral), dan 30 November 2020 (gerhana penumbral). Namun tentu saja gerhana-gerhana ini terasa kurang spesial dibandingkan gerhana Bulan total. 
    Maka dari itu, saya hanya mengingatkan sekali lagi, jangan lewatkan gerhana Bulan total 28 Juli 2018 malam ini atau anda hanya bisa menyesal nantinya.

Sumber Referensi : Www.Infoastronomi.Com